Download Ebook Mitos Pribumi Malas | Imej Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Penjajah
Sultan Hasanudin |
Catatan John Davis yang menceritakan bagaimana saat ia pertama kali menjadi pemandu utama dalam ekspedisi menuju Aceh pada 1598.
Pada 21 Juni 1599, kami berlabuh di Teluk Aceh, pada depa ke-12. Karena keberadaan kami di sini, Raja mengutus petugasnya untuk mengukur panjang dan lebar kapal kami, menghitung jumlah awak kapal, dan perlengkapan perang kami.
…
Pulau Sumatera adalah tanah yang subur dan menyenangkan yang dilimpahi oleh banyak jenis buah-buahan yang langka dan enak. Tanaman gandum yang mereka punya hanya padi, yang merupakan roti bagi mereka. Mereka membajak tanah dengan kerbau, yang banyak terdapat di sana, tetapi dengan sedikit keterampilan dan kurang rajin.
Di dalam kebun-kebun dengan luas satu mil persegi mereka mempunyai banyak sekali tanaman lada yang ditanam. Biji-biji lada tergantung di tandan-tandan kecil yang panjangnya tiga inci. Tiap tandan menampung 40 biji lada. Mereka mampu menghasilkan muatan untuk 20 kapal per tahun, mungkin lebih, bila orang-orang ini pekerja keras dan rajin. Seluruh negeri nampak seperti sebuah taman kesenangan. Udaranya sehat dan bersuhu sedang. Setiap pagi selalu menghasilkan embun atau hujan kecil.
Negeri tersebut mempunyai banyak tambang emas dan tembaga, berbagai jenis karet, balsem, dan beragam obat-obatan. Soal batu berharga, di sini ada batu rubi, safir, dan batu akik merah tua.
(catatan John Davis dalam Reid, 1995)
Mereka (orang Aceh) berbicara bahasa mereka dengan baik, dan beberapa dari mereka memiliki mata pencaharian dari berbicara di depan umum.
Beberapa dari mereka adalah perajin yang cukup terampil, khususnya dalam membangun kapal. Tetapi mereka tidak bekerja secepat dan setangkas orang Eropa.
(Catatan Augustin De Beaulieu dalam Reid, 1995)
Beberapa hal yang perlu saya garis bawahi adalah bahwa catatan para petualang di atas berulang kali menyebut bahwa penduduk lokal adalah figur yang sedikit terampil, kurang rajin, tidak bekerja secara cepat dan tangkas seperti orang Eropa. Secara umum, citra orang Melayu dalam dunia kapitalisme kolonial memang diidentikkan dengan pribadi yang malas. Seperti yang dikupas S.H. Alatas dalam bukunya Mitos Pribumi Malas, orang-orang Melayu memang dipandang kurang cekatan dan tidak terampil dalam bekerja. Tentu saja, sesuai dengan kerangka orientalisme, pandangan ini sengaja dikonstruksi oleh orang-orang asing, the others, agar semakin mengekalkan pengaruh mereka di wilayah jajahannya.
Jika ditilik lebih dalam, mitos orang Melayu yang disebut-sebut memiliki sifat malas ini bukanlah dilandasi oleh rasa malas yang sebenarnya, melainkan karena penolakan mereka untuk bekerja sebagai buruh perkebunan. Sikap masyarakat Melayu ini mengakibatkan masalah serius bagi para pemilik modal perkebunan milik orang-orang kolonial yang terpaksa harus mendatangkan para buruh dari luar wilayah Melayu.
Beberapa hal yang perlu saya garis bawahi adalah bahwa catatan para petualang di atas berulang kali menyebut bahwa penduduk lokal adalah figur yang sedikit terampil, kurang rajin, tidak bekerja secara cepat dan tangkas seperti orang Eropa. Secara umum, citra orang Melayu dalam dunia kapitalisme kolonial memang diidentikkan dengan pribadi yang malas. Seperti yang dikupas S.H. Alatas dalam bukunya Mitos Pribumi Malas, orang-orang Melayu memang dipandang kurang cekatan dan tidak terampil dalam bekerja. Tentu saja, sesuai dengan kerangka orientalisme, pandangan ini sengaja dikonstruksi oleh orang-orang asing, the others, agar semakin mengekalkan pengaruh mereka di wilayah jajahannya.
Jika ditilik lebih dalam, mitos orang Melayu yang disebut-sebut memiliki sifat malas ini bukanlah dilandasi oleh rasa malas yang sebenarnya, melainkan karena penolakan mereka untuk bekerja sebagai buruh perkebunan. Sikap masyarakat Melayu ini mengakibatkan masalah serius bagi para pemilik modal perkebunan milik orang-orang kolonial yang terpaksa harus mendatangkan para buruh dari luar wilayah Melayu.
Pangeran Diponogoro |
Citra masyarakat Melayu yang malas ini sudah diembuskan di antara ribuan pikiran yang tak terhitung lagi jumlahnya sejak dari empat abad yang lalu. Citra ini, tentu saja, semata-mata diciptakan oleh orang-orang Eropa pada masa Penjajahan. Citra ini juga lebih didasarkan pada penyamarataan yang sangat gegabah. Kalau dalam mata kuliah Orientalisme, kami menyebutnya sebagai stereotipe, yakni sebuah stigma yang dilekatkan begitu saja dan diterima oleh banyak kalangan. Misalnya, orang Minang itu pelit, orang Jawa itu plin plan, orang Batak itu keras, dan masih banyak lagi stereotipe yang berkembang di wilayah kepulauan negeri ini. Mereka sendiri terjebak dalam penafsiran yang keliru atas apa yang mereka lihat sendiri.
UNDUH PDF