diplomasi tanpa munafik | diplomasi rasulullah | diplomasi islam | diplomasi bersih | politik islam | politik rasulullah | hukum internasional | Islam lahir dan berkembang dengan cemerlang | islam baghdad | islam cordoba | islam pusat ilmu pengetahuan | masa kegelapan eropa | intelektual muslim | ras manusia | hukum internasional islam adil | sejarah sumber asing | produk pendidikan eropa | intelektual dan budaya | logika aristoteles | islam modern | abad kegelapan eropa barat | mitos yunani | hermes dewa diplomasi munafik |
UNDUH 1.3 MB
KATA PEMBUKA
Dalam konteks hubungan antarnegara kata diplomasi telah lama digambarkan dengan konotasi yang buruk.
Hal ini telah lama terproyeksikan dalam semantik melalui proses dan perjalanan sejarah. Tradisi Machiavelli - pengarang buku The Prince, pent - telah memisahkan secara tajam antara seni negosiasi dengan moralitas dalam tata aturan nasional maupun internasional. Walaupun tradisi ini mengandung sesuatu yang sangat Nemesik, - Nemesis adalah nama klasik perempuan Yunani yang suka marah melihat pelanggaran hukum, pent - tetapi ia telah meninggalkan jejak yang pahit dan getir, kecurigaan, dan salah pengertian yang terus berlanjut sehingga menimbulkan kebingungan dalam hubungan antarmanusia.
Beberapa di antaranya mungkinkah kita mampu melahirkan sebuah clean diplomacy, yaitu diplomasi yang bersih dari pola-pola hipokratik (kemunafikan), kebohongan dan kata-kata yang tak bersumber dari nurani yang selama ini telah ditempelkan secara lekat pada para diplomat? Dan apakah sejarah telah memberikan bukti yang nyata bahwa diplomasi yang bersih itu telah melahirkan buah yang nikmat? Dr. Afzal Iqbal mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam buku ini dan sekaligus memberikan jawaban yang memuaskan.
Dia telah mendapatkan contoh sempurna dalam hal ini pada sosok Nabi kaum Muslimin, Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam. Studi yang dilakukan penulis buku ini sangat menarik dan mengandung banyak pelajaran, karena membidik salah satu karir Rasulullah yang sering kali tidak mendapat perhatian serius dari para penulis sirah kehidupan Rasulullah. Dia dengan tajam dan jenial menganalisa beragam situasi yang dihadapi Rasulullah pada masa hidupnya, yaitu pada saat-saat beliau mengadakan pendekatan dan strategi dalam berbagai persoalan, baik dalam masa damai maupun dalam situasi perang. Yang pada akhirnya akan menghasilkan kesejahteraan manusia secara umum. Dan pada saat yang sama Rasulullah tidak menyimpang dari misi kerasulan dan pengemban moral yang sangat tinggi yang Allah bebankan kepadanya. Tujuan yang hendak diraih dan cara yang beliau tempuh sama sekali sulit untuk dikritik.
Dr. Iqbal adalah salah seorang korp diplomatik di lingkungan kami. Dan jika buku yang dia tulis ini sukses menyinarkan kesadaran kepada para diplomat dan berhasil mengkondisikan kesadaran mereka untuk melahirkan nilai-nilai kemanusiaan, maka buku ini telah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan penulisnya.
S. A Rahman, 65, Gulberg Lahore
PENGANTAR EDISI PERTAMA
Hukum internasional, sebagaimana yang kita ketahui saat ini, adalah usaha untuk mengatur hubungan negara-negara Kristen antara satu dengan yang lain. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1856. Turki adalah negara non-Kristen pertama yang mendapat kesempatan untuk memasuki komite Bangsa-bangsa. Namun posisinya masih sangat ganjil hingga tahun 1923. Barat saat itu menganggap Turki memiliki peradaban yang inferior (terbelakang) dan mereka tidak akan memperlakukan negeri itu sederajat dengan negara-negara Kristen. Hukum internasional modern secara fakta berasal dari Eropa Barat. Oleh karena itu, tidak menghiraukan jika kita menyimak sejarah mereka, kita akan melihat bahwa seluruh karya yang ada dalam hukum Internasional dan diplomasi berakar kepada Negara- Kota (City-State) Yunani, kemudian diikuti oleh periode Romawi dan secara sangat mengejutkan melompat ke zaman modern saat ini, tanpa menghiraukan masa seribu tahun, (saat Islam menjadi imam peradaban dunia, pent.) Dengan anggapan dan penekanan bahwa di "Abad Pertengahan" ada kevakuman dan tak ada hajat yang mendesak terhadap hukum yang disebut dengan hukum international.1)
Periode itu adalah periode yang telah dipangkas dan dianggap sebagai masa kegelapan diplomasi. Dan pada saat itu, sebenarnya Islam lahir dan berkembang dengan cemerlang dari kota Mekkah, menyebar ke Syiria, dan terus merambat dengan nafas damainya ke Afrika Utara, kemudian menyeberang ke jalan-jalan Gibraltar. Dan gaung ajarannya telah mengetuk pintu-pintu Eropa. Islam telah mencapai kematangan politiknya secara penuh pada awal abad kelahirannya. Penyebaran wilayah geografisnya telah jauh melebar selama tujuh ratus tahun sejak awal kelahirannya. Saat itu Islam telah berhasil menaklukkan Sicilia dan telah pula mencapai Campagna dan Abruzzi di Eropa Selatan. Dengan mempergunakan Spanyol sebagai batu lompatan, ia menerobos masuk ke Provence, Italia Utara dan bahkan ke Switzerland. Melalui markas utamanya yang berada di Spanyol dan Sicilia, Islam terus dengan semangat menyebarkan pengaruh kulturnya ke seluruh Eropa. Baghdad di Timur dan Cordoba di Barat adalah dua pusat ilmu pengetahuan yang sangat bergengsi di abad Pertengahan. Masa itu sering kali dianggap sebagai awal munculnya peradaban Eropa. Para penulis hukum internasional Eropa masa awal, seperti Pierre Bello, Ayala, Vittoria Gentiles dan yang lain, mendapatkan pengetahuan dari Italia dan Spanyol. Dengan demikian kebangkitan Eropa telah dipengaruhi peradaban yang dibangun Islam di benua ini. Grotius, Bapak Hukum Internasional Eropa, dan para penulis sebelumnya yang telah kami sebutkan, banyak mengadopsi karya-karya berbahasa Arab yang ditulis para intelektual Muslim. Yang sangat sulit jika ditelusuri dari sumber-sumber yang berasal dari Yunani dan Romawi. Jadi, secara faktual mereka harus memasang garis penghubung yang hilang antara periode Romawi dan periode modern untuk memberi petunjuk akan adanya konsep hukum internasional yang dibawa Islam.
Orang-orang Ibrani memasukkan kultur mereka sendiri, saat mereka berada di bawah Musa dan Kitab Taurat. Orang-orang Yahudi tidak mau mengakui orang di luar kelompok mereka. Mereka menyatakan sumpah permusuhan terhadap beberapa bangsa, seperti Amerika, mereka menolak menjalin hubungan apa saja dengan siapa pun dalam keadaan perang ataupun damai. Orang-orang Yunani memandang orang non-Yunani sebagai kaum barbarik. Aristoteles percaya bahwa alam ini telah menjadikan orang-orang Barbar sebagai budak.2) Padahal orang-orang Yunani tidak pernah memiliki negara dan bangsa yang kuat sebelum mereka mampu menaklukkan Macedonia. Bangsa Romawi menaklukkan Yunani, namun mereka tidak membawa perubahan radikal yang relevan dalam bidang hukum internasional. Sebaliknya secara fakta Yunani kembali menaklukkan bangsa Romawi dalam sisi intelektual. Oppenheim dengan tegas menyatakan, bahwa pengaruh Kristen tidak tampak sama sekali, meskipun agama Kristen secara resmi menjadi agama resmi di bawah kekuasaan Konstantin Yang Agung (306-307 M). Tatkala kekaisaran Romawi terpecah menjadi dua, orang-orang yang berada di wilayah Timur dianggap sebagai barbarik meskipun mereka menganut agama Kristen. Kehidupan dan kekayaan seseorang yang berada di wilayah kekuasaan Romawi tidak aman jika is tidak menjalin perjanjian persahabatan dengan penguasa Romawi. Orang-orang tersebut tidak bisa memiliki harta dan memiliki hak apa pun, serta kekayaan mereka bisa saja dirampas dan mereka sendiri dijadikan budak.3)
Dengan lahirnya Islam, kita melihat lahirnya satu perubahan secara revolusioner yang menancapkan prinsip hukum internasional dan diplomasi. Islam dengan tegas menyatakan persamaan antarmanusia. Allah berfirman,
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. " (QS Al-Hujuraat 49:13)
Perbedaan yang ada antara orang-orang Yunani dan Barbar, Yahudi dan Amalika, Romawi dan Kristen Timur yang dianggap inferior dihapuskan. Prasangka berdasarkan warna kulit, ras dan bahasa dikutuk. Semua negara dan manusia, tanpa memandang agama dan rasnya, dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi dan Nasrani dan orang-orang Shabiin siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS Al-Baqarah 2:62).
Islamlah yang pertama kali menghadirkan ide negara universal atas dasar persamaan di antara manusia. Dalam hukum Islamlah, kita dapatkan pertama kali, hak-hak musuh, baik dalam keadaan perang maupun damai yang dijamin dalam Al- Quran dan hadits Rasulullah. Hukum internasional Islam menawarkan regulasi aturan negara Muslim dengan formula yang seadil-adilnya. Bukan saja antara negara Islam, namun juga dengan negara non-Islam di seluruh dunia. Grotius, Bapak hukum internasional Eropa, menyebutkan tatkala mengkompilasi (menyusun) bukunya, bahwa di saat dia hidup, bangsa Kristen Eropa memiliki perilaku yang sangat memalukan untuk dilakukan bahkan oleh orang-orang yang sangat barbarian sekali pun. Buku-buku tentang jura belli (hukum perang) yang ditulis penulis Eropa, kebanyakan memiliki nafas dan nuansa karya-karya Arab tentang Jihad. Dari sini kita bisa melihat peran yang dimainkan Islam dalam sejarah hukum internasional. 4)
Walaupun demikian, peran yang dimainkan Islam dalam bidang hukum internasional dan diplomasi ini bahkan tak pernah disebutkan apalagi diakui oleh para intelektual yang memiliki otoritas di Barat. Pada saat mereka tidak keberatan mengakui pengaruh peradaban Yahudi dan Kristen, mereka secara sengaja menghilangkan pengaruh peradaban Islam dalam bab-bab bahasan mereka dan menyatakan bahwa zaman puncak kejayaan peradaban Islam sebagai zaman kegelapan. Ini merupakan tindakan yang sangat inkonsisten dengan spirit ilmu pengetahuan. Setelah mengalami sebuah pergulatan panjang Kristen banyak belajar ko-eksist (hidup bersama) Islam. Memang patut diakui bahwa Islam adalah peradaban yang mampu menjembatani ideologi-ideologi Barat dan Timur yang sedang bertarung. Namun sayangnya, hampir setiap orang yang menginginkan mendapat simpati besar dari Barat, melihat Islam dengan pandangan yang bias selama berabad- abad.
Dan hal yang sangat menyedihkan, adanya fakta bahwa kaum terpelajar Islam sangat miskin untuk bisa mengakses langsung ke sumber-sumber asli yang ada dalam Islam. Bahkan mereka cenderung untuk menerima sejarah dan tradisi mereka sendiri dari sumber-sumber asing. Mereka adalah produk pendidikan Eropa yang tidak mampu membantu membendung pengaruh-pengaruh yang menghancurkan basis budaya mereka sendiri secara perlahan. Para intelektual muslim modern yang dibesarkan dalam lingkungan tradisi dan pemikiran Barat cenderung kehilangan daya warisan intelektual dan budaya mereka sendiri. Tradisi Barat, seperti metode penyelidikan, eksplorasi, riset dan analisa adalah instrumen yang sangat berharga, namun para intelektual Muslim di negara-negara Muslim tampaknya tidak mampu mempergunakan instrumen-instrumen tersebut untuk melacak sumber kekayaan budaya dan peradaban masa lalu mereka. Bagaimanapun sederhananya masa lalu peradaban seseorang, ia tetap bisa dijadikan sebagai pijakan untuk sebuah arahan menuju kemajuan di masa depan. Masa lalu kita secara spiritual dan material sangatlah kaya dan beragam. Dan tidak bisa diingkari, bahwa itu semua adalah elemen-elemen yang sangat berharga dari pemikiran rasional dan instrumen riset yang dilakukan dengan sangat teliti. Para filosof dan pemikir Muslimlah yang untuk pertama kali sukses mengadakan perlawanan atas logika Aristotalian. Dengan tegas dan demonstratif mereka menyatakan, bahwa dasar logika yang diletakkan Aristoteles tidak cukup mampu untuk menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Ibnu Taimiyah - dalam bukunya Ar-Raddu "Ala Manthiqiyyin, pent - mengatakan bahwa silogisme (analogi/qiyas) yang diajarkan dalam logika Aristoteles hanyalah sebuah tautology (pengulangan kata), yang tidak akan mampu melahirkan ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian kita bisa mengadopsi instrumen-instrumen yang dipergunakan Barat dalam bidang riset tanpa harus merasa asing, dan mempergunakannya untuk melacak masa lalu kita.
Kita saat ini benar-benar hidup terisolasi dari masyarakat kita sendiri. Kaki kita berpijak di Timur, sementara dari otak kita mengalir deras pemikiran yang kita dapatkan dari Universitas Oxford, Cambridge, Cornell dan Harvard. Kondisi emosional yang dis-asosiatif (jauh) dari masyarakat telah melahirkan sebuah jarak yang menjadikan kita kurang mampu melihat dengan jeli persoalan-persoalan mereka dan sekaligus juga tidak mampu menghadapinya. Pemahaman terhadap sejarah masa lalu dan kemampuan untuk memecahkan problema yang muncul, itulah yang menjadikan kita terus eksis hingga kini dan sekaligus sebagai batu loncatan yang akan menentukan masa depan kita. Mau tidak mau, kita harus melihat warisan tradisi kita dalam wajahnya yang baru, dan jangan hanya melihat lewat kacamata para sejarawan Barat.
Hukum internasional saat ini tidak lagi sebagai hukum yang hanya mengikat antara negara-negara Kristen semata. Dengan semakin berkembang dan meluasnya negara-negara Islam, maka upaya untuk menaruh perhatian dan mengerti Islam serta memahami bagaimana sikap Islam terhadap hukum internasional menjadi hal yang sangat dibutuhkan, bahkan oleh negara-negara non-Muslim sekalipun. Sumber- sumber hukum Islam tentang negara yang didefinisikan para ahli hukum modern adalah meliputi empat hal: kesepakatan (ijma'), sunnah, ijtihad dan otoritas.
Al-Quran menetapkan otoritas (landasan hukum), sementara perhatian dan perilaku Rasulullah merepresentasikan sunnah, sedangkan aturan yang dinyatakan dalam perjanjian masuk dalam kategori kesepakatan, serta pendapat para khalifah dan para fuqaha setelahnya digolongkan dalam ijtihad.
Dalam monograp ini, kajian yang kita lakukan hanya pada dua sumber utama, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Pada saat hukum internasional telah digarap oleh segolongan pemikir Muslim, kajian tentang diplomasi dalam Islam tidak mendapat perhatian secara serius. Apakah diplomasi Islam? Apakah konsep diplomasi yang ada dalam Al-Quran dan sunnah? Apakah kata diplomasi sangat tidak pantas jika diasosiasikan dengan Rasulullah? Inilah sejumlah pertanyaan yang membututhkan jawaban.
Diplomasi mempunyai kesan yang tidak baik. Kata ini telah banyak digunakan untuk mengungkapkan berbagai makna yang hampir semuanya tidak bersesuaian dengan moralitas dan nilai-nilai utama, apalagi dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Rasulullah. Bahkan para diplomat saat ini akan merasa malu jika Hermes terpilih sebagai dewa yang menduduki profesi mereka. Gambaran yang pertama muncul saat disebutkan diplomasi/diplomat adalah pesona dan kegantengan, licin dan penuh akal bulus, kelicikan, bujukan dan pujian yang sifatnya menjilat, penipuan dan muslihat yang semuanya memiliki akar dari tradisi Yunani. Kata-kata itu semuanya memiliki tingkatan yang berbeda. Diplomasi tidak mampu melepaskan perilaku jahatnya di masa pemerintahan Romawi dan tidak pula mampu melahirkan basis moral yang kokoh. Seorang Duta Besar Inggeris, Sir Henry Wotton, pada suatu saat dengan sinis menyatakan, "Duta besar adalah seseorang yang menipu di luar negeri demi kepentingan negerinya sendiri." Prase ini 5) ini telah dibayar sangat mahal dengan dilepaskannya jabatan yang dia pegang. Namun tampaknya apa yang dia katakan itu saat ini tidak lagi memiliki relevansi dengan fungsi diplomasi modern. Diplomasi yang asalnya dipahami hanya sekedar urusan arsip kini telah melebar kepada banyak urusan. Sebagaimana yang dikatakan orang-orang Yunani, saat ini diplomasi menjelma menjadi sebuah ilmu pengetahuan tersendiri yang berhubungan dengan urusan internasional. Kata diplomasi yang diaplikasikan pada aturan urusan internasional, belum dikenal dengan konotasi demikian sebelum tahun 1796, seperti yang terlihat ketika Edmund Burke menggunakannya dalam konteks ini. Kamus Oxford mendefinisikan diplomasi sebagai berikut:
Diplomasi adalah sebuah manajemen hubungan negosiasi internasional, dengan cara pengiriman duta besar dan utusan resmi negara. Dengan kata lain diplomasi adalah bisnis dan seni para diplomat.
Dengan demikan, para diplomat adalah para ahli negosiasi par excellence. Diplomasi sebagai suatu seni negosiasi telah lama ada sebelum Islam. Dalam mitos Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa diplomasi yang diasosiasikan dengan kegantengan dan kelicikan, penipuan dan seni rendahan yang kemudian dia memberikannya kepada Pandora, wanita pertama yang merusak dengan menggunakan kelicikan dan kelicinan otaknya. Di masa Homer - pengarang buku sastera prosa Iliad, pent - kualifakasi utama bagi seorang diplomat adalah seseorang yang memiliki ingatan yang kuat dan suara yang lantang. Pada masa pemerintahan kekaisaran Byzantium cara-cara negosiasi dengan keculasan dan korupsi sangatlah terkenal. Catatan tak sedap kepausan Chanceries di abad pertengahan juga mewarisi cara-cara diplomasi yang sangat merusak, namun tidak akan penulis ungkap di sini. Penulis juga tak akan mendiskusikan peran yang dimainkan oleh diplomat Florentine di zaman Renaisans seperti Dante, Petrarch, Boccaccio dan murid-muridnya yang datang setelah itu, seperti Guicciardini dan Machiavelli.
Dalam konteks pembicaraan diplomasi yang mendahului diplomasi modern, kita perlu mengangkat studi tentang diplomasi Islam. Beberapa tujuan diplomasi utama adalah menciptakan solusi damai dan promosi harmonisasi antara negara. Akan sangat menarik kiranya untuk melihat bagaimana Rasululullah, yang saat itu sebagai kepala negara, telah berhasil menggapai tujuan lewat cara-cara diplomatik. Yaitu lewat negosiasi, konsiliasi, mediasi dan arbitrasi (juru penengah). Memang telah banyak riwayat dan sirah Nabi yang ditulis, namun sayang penonjolan sisi kehidupan Rasulullah yang signifikan, bahwa ia sebagai seorang negosiator ulung begitu minim. Namun jika kita melihat dan menelaah Al-Quran dan Sunnah dengan tajam, maka kita akan mendapatkan di dalamnya dasar-dasar diplomasi. Sedang bagaimana asas-asas diplomasi ini dipegang teguh penerusnya bukanlah menjadi tujuan penulis dalam buku ini. Karena penulis sengaja membatasi bahasan buku ini pada kehidupan Rasulullah sebagai usaha untuk memahami lebih dalam karakter dan kualitas diplomasi dalam Islam.
Tulisan ini adalah usaha dialogis dalam dua level. Pertama, adalah dialog dengan para sejarawan Barat yang sama sekali menganggap sepi dan bahkan menutup mata terhadap peran yang dimainkan Islam dalam bidang diplomasi yang telah melahirkan gap intelektual karena mereka memberi label Abad pertengahan dengan "Abad Kegelapan". Dan kedua, tulisan ini adalah sebagai dialog ke dalam yang bertujuan mengadakan "perbincangan" dengan para pemeluk Islam. Karena segala sesuatu, baik besar maupun kecil, sangsi moral dan inspirasi bagi seorang muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, maka wajib bagi seorang diplomat Muslim untuk selalu berpegang teguh kepada tatakrama dan ajaran moral yang ada dalam Islam dalam profesi yang sedang mereka geluti. Ini sangat penting artinya untuk menghindari lahirnya satu pribadi yang pecah. Sebab tak seorang pun yang bisa memberikan legitimasi untuk membagi hidup ini ke dalam dua bagian yang berbeda. Antara aspek religius dan aspek moral di satu sisi dan profesi di sisi yang lain. Karena dua aspek itu memiliki implikasi yang sama. Islam telah lama menekankan agar manusia memiliki kepribadian yang satu, sebab jika tidak, maka tidak akan tercapai keutuhan jiwa dan kedamaian pribadi.
Tulisan-tulisan ini adalah awal yang sangat bagus yang tentu saja membutuhkan penelitian dan riset yang lebih mendalam. Hasil yang besar akan bisa dicapai andaikata para diplomat muda Muslim mengabdikan kemampuannya untuk kepentingan warisan budaya mereka. Tujuan yang ingin penulis capai akan mencapai target yang berlipat jika usaha-usaha penulisan lebih lanjut dilakukan di bidang budaya dan pemikiran yang selama ini banyak diabaikan.
Untuk data-data historis dalam penulisan buku ini, penulis banyak mengutip dari buku Sirah Rasulullah, karangan Ibnu Ishaq yang baru-baru ini diterjemahkan oleh Professor Guillame dalam bahasa Inggeris dengan judul The Life of Muhammad dan diterbitkan oleh penerbit Oxford London, 1965. Penulis juga banyak merujuk kepada tulisan-tulisan Syibli Nu'mani dalam bahasa Urdu, karya-karya pelanjutnya adalah karya Sayyid Sulaiman An-Nadwi. Untuk terjemahan Al-Quran penulis mempergunakan karya Abul Kalam Azad yang masih belum selesai. Sedangkan terjemahan Al-Quran yang ada dalam buku ini penulis kutip secara keseluruhan dari terjemahan Marmuduke Pickthall, The Glorious Koran.
--------------- 1.) L. Oppenheim, International Law, 1,62. 2.) Aristotle, Politics Book I, Pasal 7 3.) Untuk lebih jelasnya lihat C.Philipson, The International Law and Costum of Ancient Greece and Rome. 4.) M. Hamidullah, Muslim Conduct of State, hal.65 5.) Sebagai contoh dalam bahasa Persia, apa yang menjadi karakter umum diplomasi ini lihat misalnya Kitab At-Taj dikarang Jahiz, pada Bab pertama, halaman 121-23.