Kartini Antara Zionis dan Konspirasi
Setiap tanggal 21 April diperingati Hari Kartini. Hampir semua
wanita Indonesia, termasuk kaum muslimah juga ikut-ikutan memperingati
hari tersebut tanpa mengetahui latar belakang sejarahnya yang jelas. Hari Kartini
sering ditempeli dengan berbagai acara yang mengedepankan emansipasi
wanita, kesetaraan gender, perjuangan feminisme, dan lain-lain. Kartini sering dijadikan ikon pelopor bagi kemajuan wanita di Indonesia, dan pemerintah secara resmi mengakuinya sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964.
Kartini lahir di desa Mayong, sebelah barat Kota Kudus, Kabupaten Jepara. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Kartini kecil (1885-1892) dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS). Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini,
ikatan adat istiadat yang telah berurat akar yang dalam ini dianggap
mengekangnya sebagai wanita. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa pingitan. Pada saat ini, Kartini
merasakan betul betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh
dibatasi. Padahal di luar sana, ia melihat pendidikan Barat-Eropa begitu
maju.
Pergaulan dan Korespondensi Kartini
Ny. Rosa Manuela Abendanon Mandri atau sering dikenal sebagai Ny. Abendanon Mandri. Wanita berdarah Yahudi kelahiran Puerto Rico ini adalah istri kedua dari Jacques Henri Abendanon atau sering disebut J.H. Abendanon yang menjabat sebagai Direktur Kementerian Pengajaran, Ibadat, dan Kerajinan di Hindia Belanda. Ny. Abendanon disebut oleh Kartini
sebagai orang satu-satunya yang banyak mengetahui kehidupan batinnya.
Ny. Abendanon juga banyak mengirimkan buku-buku terutama tentang
humanisme, diantaranya buku Karaktervorming der Vrouw (Pembentukan Akhlak Wanita) karya Helena Mercier, Modern Maagden (Gadis Modern) karya Marcel Prevost, De Vrouwen an Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karya August Bebel dan Berthold Meryan karya seorang sosialis bernama Cornelie Huygens. Kartini juga membaca buku De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus.
Christian Snouck Hurgronje sangat berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda. Dialah orang yang mendorong J.H. Abendanon agar memberikan perhatian lebih kepada Kartini bersaudara, hingga sampailah pertemuan antara Abendanon dan Kartini di Jepara. Snouck Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang dianggap oleh Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam.
Kepada Ny. Abendanon, Kartini pernah menitip pesan agar menanyakan hal yang berkaitan dengan hukum Islam. Kartini
menganggap Snouck Hurgronje sebagai orang yang paham Islam, padahal
sesungguhnya seorang orientalis yang pura-pura mendalami Islam. Kartini
menulis, "Apabila bila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya, Dr. Snouck
Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut:
Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat
dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan
diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui
sesuatu tentang hak dan kewajiban wanita Islam serta anak perempuannya.
Bagaimana undang-undang agama mereka? Suatu hal yang bagus sekali, saya
malu bahwa kami sendiri tidak tahu tentang hal itu…".
Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan
penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh
perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga priyayi Jawa lainnya.
Snouck Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka
untuk mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan
lancar. Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh
gerakan Freemasonry lewat lembaga "Dienaren van Indie"
(Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai
bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari "Dienaren van Indie" kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.

Surat-surat Kartini dengan Ny. Abendanon kemudian diterbitkan
pada 1911 oleh Kartini Fonds, sebuah lembaga yang dibentuk oleh seorang
humanis yang juga terlibat dari Gerakan Politik Etis, Conrad Theodore van Daventer. Kumpulan surat tersebut kemudian diberi judul "Door Duisternis tot Licht", yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sastrawan anggota Theosofi, Armijn Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang".

Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H.H. Van Kol
(orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat
di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (anggota Partai Radikal
Demokrat Belanda), K.F. Holle (seorang Humanis), Christian Snouck
Hurgronje (orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan
Hindia Belanda), dan Estella H. Zeehandelar, wanita yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella.
Stella adalah anak seorang dokter dari keluarga Yahudi dan menjadi
pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Stella dikenal
sebagai pegiat feminisme, sosialisme, aktivis penyayang binatang, dan
seorang vegetarian layaknya penganut Theosofi yang cukup berpengaruh
saat itu. Stella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij
(SDAP), partai pengusung sosialis-demokrat di negeri Belanda yang
ketika itu memperjuangkan sosialisme dan humanisme, termasuk ide-ide
tentang kesetaraan gender dan pluralisme.
Kartini berkenalan dengan Stella melalui sebuah iklan di Majalah De Hollandse Lelie, sebuah majalah wanita yang terkenal pada saat itu dan terbit di Belanda. Melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Surat pertama ditulis Kartini pada 25 Mei 1899, ketika usianya menginjak 20 tahun. Tak sulit bagi Kartini
untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Belanda, mengingat sebagai
anak priyayi Jawa, ia mempunyai akses yang mudah untuk melakukan itu.
Teman-temannya semasa di Europese Lagere School (ELS) kebanyakan adalah anak-anak Eropa, khususnya Belanda. Paman dan saudara-saudaranya juga dekat dengan elit Belanda.
Surat menyurat Kartini dengan Stella banyak membicarakan mengenai kebatinan dan keyakinan agama. Mengenai persahabatannya dengan Kartini, Stella pernah menulis surat kepada Ny. Nellie van Kol, tertanggal 28 Juni 1902, yang mengatakan, "Kartini
dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang
Yahudi. Meskipun demikian, kami mempunyai pemikiran yang sama tentang
Tuhan…".
Kumpulan surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar bisa dilihat dalam korespondensi Kartini periode 1899-1903, yang kemudian dikumpulkan oleh Dr. Joost Cote dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, "Aku Mau…Femininisme dan Nasionalisme: Surat-Surat Kartini Kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903". Buku ini diterbitkan pada 1979 untuk mengenang seabad wafatnya Kartini.

Nama-nama lain yang menjadi teman korespondensi Kartini adalah Ny. Nellie van Kol, Ny. M.C.E. Ovink Soer, E.C. Abendanon (anak J.H. Abendanon), dan Dr. N. Adriani
(orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara).
Kepada Kartini, Ny. van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan
kepada Dr. N. Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen,
meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.
Dr. Th. Sumartana dalam bukunya "Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini" menyatakan ada surat-surat Kartini
yang tak diterbitkan oleh Ny. Abendanon Mandri, terutama surat-surat
yang berkaitan dengan pengalaman batin Kartini dalam dunia okultisme
(kebatinan dan mistis). Entah dengan alasan apa, surat-surat tersebut
tak diterbitkan. Ny. Abendanon hanya menerbitkan kumpulan surat Kartini yang diberi judul "Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Keterangan mengenai kepercayaan Kartini
terhadap okultisme hanya didapat dari surat-suratnya yang ditujukan
kepada Stella dan keluarga van Kol. Seperti diketahui, okultisme banyak
diajarkan oleh jaringan Freemasonry dan Theosofi, sebagai bagian dari
ritual perkumpulan mereka.

Majalah Tempo, 12 Oktober 1987, mengulas mengenai terbitnya buku yang berisi surat menyurat Kartini
dengan J.H. Abendanon dan Ny. Abendanon. Majalah Tempo menulis, tak
semua surat-surat Kartini ditampilkan dalam buku tersebut. Stella, yang
diduga memiliki sedikitnya 20 surat Kartini, hanya meminjamkan 14 pucuk.
Annie Glaser, sosok yang disebut dalam surat Kartini,
yang menceritakan spiritualisme gaib, bahkan sama sekali menolak
meminjamkan surat-surat Kartini yang ada di tangannya untuk
dipublikasikan.
Menurut Ridwan Saidi dalam buku "Fakta dan Data Yahudi di Indonesia"
menyebutkan bahwa sebagai orang yang berasal dari keturunan priyayi
atau elit Jawa dan mempunyai bakat yang besar dalam pendidikan, maka Kartini menjadi
bidikan kelompok Theosofi, sebuah kelompok yang juga banyak digerakkan
oleh orang-orang Belanda saat itu. Dalam catatan Ridwan Saidi,
orang-orang Belanda gagal mengajak Kartini berangkat studi ke negeri Belanda. Tidak berputus asa, mereka menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini seorang gadis kader Zionis bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah nama keluarga Yahudi.

Pengaruh Theosofi dalam Pemikiran Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang"
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, orang yang dianggap satu-satunya sosok yang boleh tahu soal kehidupan batinnya, dan surat-surat Kartini
lainya para humanis Eropa keturunan Yahudi di era 1900-an sangat kental
nuansa Theosofinya. Seperti ditulis dalam surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tanpa sadar sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.
Bahkan, Kartini mengaku diperkenalkan kepada kepercayaan dengan
ritual-ritual memanggil roh, seperti yang dilakukan oleh kelompok
Theosofi. Selain itu, semangat pemikiran dan perjuangan Kartini
juga sama sebangun dengan apa yang menjadi pemikiran kelompok Theosofi.
Inilah yang kemudian, banyak para humanis yang menjadi sahabat karib Kartini begitu tertarik kepada sosok wanita ini.
Berikut surat-surat Kartini yang sangat kental dengan doktrin-doktrin Theosofi:
"Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah
Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah
seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam,
bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni."
(Surat kepada Ny. Abendanon, 14 Desember 1902).
"Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan
kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih.
Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa
makna….". (Surat kepada E.C. Abendanon, 15 Agustus 1902).
"Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk
baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain." (Surat 31 Januari
1903).
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah
kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak
semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan
lain-lain.” (Surat kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903).
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan
kita. Tuhan kita semua.” (Surat kepada H.H. van Kol 10 Agustus 1902).
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju
kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada
Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.”
(Surat kepada Dr. N. Adriani, 24 September 1902).
Dari cuplikan-cuplikan surat di atas, sangatlah jelas bahwa corak pemikiran Kartini sangat Theosofis, yang di antara inti ajaran Theosofi adalah kebatinan dan pluralisme.
Dalam suratnya kepada H.H. van Kol, suami dari Ny. Nellie van Kol, tertanggal 10 Agustus 1902, Kartini
mengatakan, "Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa.
Tuhannya, Tuhan kita semua." Sedangkan kepada Stella, dalam surat
tertanggal 6 Nopember 1899, Kartini mengatakan, "Ya Tuhanku, adakalanya
aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, sebenarnya yang
harus mempersatukan semua hamba Allah… orang yang seibu sebapak
berlawanan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Orang yang berkasih-kasihan dengan amat sangatnya, dengan amat sedihnya
bercerai berai. Karena berlainan tempat menyeru Tuhan, Tuhan yang itu
juga, berdirilah tembok yang membatasi hati yang berkasih-kasihan.
Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku
sendiri dengan bimbang hati....".
Cerita mengenai okultisme sempat disinggung oleh Kartini dalam suratnya, 15 Juli 1902. Kartini menulis, "Mengenai spiritisme yang dianutnya (H.H. van Kol, penj.) dengan setia, sudah diceritakan Annie kepada Nyonya, bukan? Saya senang sekali bahwa diperkenalkan dengan kepercayaan itu, tidak untuk memanggil rohnya, tetapi mengenai indahnya kepercayaan itu. Ajaran itu mendamaikan kami banyak hal, yang tampaknya ketidakadilan berat dan memberikan hiburan, bahwa kegagalan kami sekarang dalah penebusan dosa dalam kehidupan sebelumnya…kami sungguh-sungguh tercengang. Tuan van Kol mengatakan bahwa dia dan istrinya melalui spiritisme memperoleh banyak nasihat dari dunia arwah."
Mengenai keterkaitan dan hubungannya dengan Theosofi, Kartini mengatakan:
"Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak
penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai
segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga
tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah
penganut Theosofi." (Surat Kepada Ny. Abendanon, 24 Agustus 1902).
"Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi,
yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar
banyak yang membuat kami berpikir." (Surat Kepada Ny. Abendanon, 15
September 1902).
Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan, gambaran Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama, yaitu "manunggaling kawula gusti". Dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan dengan sebutan "Bapak". Kartini
juga menyebut Tuhan dengan istilah "Kebenaran", "Kebaikan", "Hati
Nurani", dan "Cahaya", seperti tercermin dalam surat-suratnya berikut
ini:
"Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan
melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan
melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia." (Surat kepada
E.C. Abendanon, 15 Agustus 1902).
"Kebaikan dan Tuhan adalah satu." (Surat kepada Ny. Nellie van Kol, 20 Agustus 1902).
Alam spiritual Kartini tak hanya dipengaruhi oleh kepercayaan
akan mistis Jawa, tetapi juga oleh pemikiran-pemikiran Barat. Inilah
yang oleh kelompok Theosofi disebut sebagai upaya menyatukan antara
"Timur dan Barat". Sebuah upaya yang banyak memikat para elit Jawa,
terutama mereka yang sudah terbaratkan secara pemikiran.
Sitisoemandari Soeroto, penulis biografi Kartini mengatakan bahwa dalam beragama, Kartini kembali kepada akar-akar kejawennya atau apa yang disebut dengan ngelmu kejawen. Soemandari mempertegas, kepercayaan Kartini adalah gabungan antara iman Islam dan Kejawen. Atau dalam bahasa lain, keyakinan agama atau kepercayaan Kartini adalah sinkretisme yang berlandaskan pada pluralisme agama.

Belakangan, jaringan Theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirikan di Bandung oleh seorang Teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di berbagai daerah di Jawa. Tercatat di beberapa daerah juga berdiri Sekolah Kartini, yaitu Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiun (1914), Cirebon, Malang (1916), dan Indramayu (1918).
Sebagai sekolah yang dikelola oleh para Teosof, ajaran tentang
kebatinan, sinkretisme – sekarang lebih populer dengan istilah
pluralisme– juga tentang pembentukan watak dan kepribadian, lebih
menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut. Sekolah lain yang
didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi adalah Arjuna School, dengan muatan nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini School.
Kartini, seperti yang tersirat dalam tulisan Prof. Harsja W.
Bachtiar, adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan
bahwa pemikiran barat-lah yang menginspirasi kemajuan wanita di
Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan
kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa
kolonial, telah sukses melahirkan sosok Kartini yang "tercerahkan" dengan pemikiran Barat.
Karena itu, Harsja menilai, sejarah harus jujur dan secara terbuka
melihat jika memang ada orang-orang yang juga mempunyai peran penting
seperti Kartini, maka orang-orang tersebut juga layak mendapat penghargaan serupa, tanpa menihilkan peran yang dilakukan oleh Kartini.
Soal sosok Kartini yang diduga menjadi "mitos dan rekayasa" yang
diciptakan oleh kolonialis juga menjadi perhatian sejarawan senior
Taufik Abdullah. Ia menulis:
"Tak banyak memang ”pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat
menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya.
Sebagian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos mereka
adalah ”pahlawan” dan selesai masalahnya. R.A. Kartini adalah
pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos
dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang
menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil
rekayasa politik etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik
asosiasi?".
Perjuangan dan pemikiran Kartini, terutama yang berhubungan dengan pluralisme, memang mendapat perhatian dunia internasional. Ny. Eleanor Roosevelt, istri Presiden AS Franklin D. Roosevelt memberikan pernyataan tentang perjuangan Kartini:
"Saya senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang
diberikan oleh surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu,
menurut saya merupakan sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini katakan:
Kami merasa bahwa inti dari semua agama sama adalah hidup yang benar,
dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai umat
manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada mempersatukan
kita, agama seringkali memaksa kita terpisah, dan sedangkan gadis yang
muda ini, menyadari bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu".

Siapa Ny. Eleanor Roosevelt? Dalam buku Decoding the Lost Symbol, Simon Cox menyebut Eleanor Roosevelt adalah aktivis organisasi the Star of East,
sebuah organisasi yang berada di bawah kendali Freemasonry, yang
menerima wanita sebagai anggotanya. Di Batavia, organisasi the Star of
East (Bintang Timur), pada masa lalu sangat mengakar dengan berdirinya
loge Freemasonry, De Ster in het Oosten (Bintang Timur) di kawasan Weltevreden, yang sekarang berada di jalan Boedi Oetomo.
Tepatkah jika Kartini, yang berpikiran Barat dan berpaham Theosofi, dijadikan ikon bagi perjuangan kaum wanita pribumi?
Hal-hal Lain Yang Terlupakan
Pada umumnya, para wanita mengidolakan Kartini saat masih belum menikah. Adakah para wanita penggemar ini tahu, apa yang dipikirkan dan dilakukan Kartini setelah menikah? Apakah mereka tahu hasil pengamatan Kartini, sebenarnya wajar saja jika kaum pria berpoligami karena itu memang kesalahan wanitanya?

Sejarah mencatat, ada banyak wanita yang hidup sezaman dengan Kartini yang namanya begitu saja dilupakan dalam perannya memajukan pendidikan kaum hawa di negeri ini. Di antara nama itu adalah Dewi Sartika
(1884-1947) di Bandung yang juga berkiprah memajukan pendidikan kaum
wanita. Dewi Sartika tak hanya berwacana, tapi juga mendirikan lembaga
pendidikan yang belakangan bernama Sakolah Kautamaan Istri (1910). Selain Dewi Sartika, ada Rohana Kudus, kakak wanita Sutan Sjahrir, di Padang, Sumatera Barat, yang berhasil mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916).

Jika berhubungan dengan emansipasi dan kesetaraan gender, para wanita seharusnya mengikuti teladan Laksamana Malahayati (akhir 1500-an s/d awal 1600-an) dan Nyi Ageng Serang
(1752-1828) yang juga golongan bangsawan. Kepahlawanan mereka melebihi
para pria di masanya. Dan, bagi remaja putri bisa mencontoh keberanian Martha Christina Tiahahu. Bukannya memilih Kartini yang tidak pernah mengangkat senjata melawan penjajah.
Masihkah mengidolakan Kartini?
Masih jadi penggemar Kartini yang keyakinannya saja timbul tenggelam?
Masih mau memilih Kartini yang disayang penjajah atau yang lainnya yang dimusuhi penjajah?
Sumber : VOA-Islam.com, Arrahmah.com, dan lainnya dengan perbaikan.
COMMENTS