Oleh: KH Abdullah Gymnastiar Kualitas diri seseorang bisa diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan ber...
Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
Kualitas diri seseorang bisa
diukur dari kemampuannya menjaga lidah. Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam
menggunakan lidahnya. "Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah dengan
kata-kata yang benar." (QS Al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang
beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam". (HR
Bukhari-Muslim).
Rasulullah adalah figur teladan
yang sangat menjaga kata-katanya. Beliau berbicara, beruap, berdialog, juga berkhutbah di
hadapan jamaah dengan akhlak. Demikian tinggi akhlak beliau hingga disebutkan bahwa kualitas akhlak
beliau adalah Al-Quran.
Mulut manusia itu seperti moncong
teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin tahu isi teko, cukup lihat dari
apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin mengetahui kualitas diri
seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan oleh mulutnya.
Nabi Muhammad saw termasuk orang
yang sangat jarang berbicara. Namun, sekalinya berbicara, isi pembicaraannya bisa dipastikan
kebenarannya. Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap kata yang terucap adalah
butir-butir mutiara yang cemerlang. Indah, berharga, bermutu, dan monumental. Ucapan Rasulullah saw
menembus hati, menggugah kesadaran, menghujam dalam jiwa, dan mengubah perilaku orang (atas
izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah
dan posisinya sebagai penyampai
wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih dari itu, Rasulullah sejak kecil
sudah dikenal sebagai Al-Amin, tidak pernah berkata dusta walau sekali saja. Investasi moral ini
tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapannya.
Dalam sebuah kitab ada keterangan
menarik. Disebutkan ada empat jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya.
Pertama, orang yang berkualitas
tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, dzikir,
dan sebagainya. Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi orang
lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun ngobrol, ujungnya adalah manfaat.
Ketika disodorkan padanya keluhan
tentang krisis, dengan tangkas dia menjawab, "Krisis adalah peluang bagi kita untuk
mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan lebih kreatif? Kita bisa mencari
celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa, semangat terus!" Siapa saja
yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal serupa itu, insya Allah dia
adalah manusia yang berkualitas.
Kedua, orang yang biasa-biasa
saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada kereta api
terguling, dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang kelindes kereta. Ketika bertemu
seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya ada apa saja dikomentari. Dia
seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada peristiwa. Tidak peduli peristiwa
layak dia komentari atau tidak.
Ini tipe manusia tukang cerita
peristiwa. Prinsip yang dia pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada masalah dengan peristiwa. Jika
melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya, insya Allah peristiwa bermanfaat.
Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju kecuali menunggu sampai mulut
lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
Ketiga, orang rendahan. Cirinya
kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan.
"Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini kayak-nya banyak masalah,
nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera berhamburan. "Makanan kok
dingin begini? Coba kalau ada sambel, tentu lebih nikmat. Aduuuh, kerupuk ini, kenapa kecil-kecil
begini?" Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua akhirnya habis juga.
Mengeluh dan mencela, itu
hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Ketika turun hujan,
hujan segera dicaci. "Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek. Jemuran nggak
kering-kering." Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh. Ketika ada polisi,
mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya. Seolah tiada hari berlalu tanpa
keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh keluh-kesah. Dia tidak bisa
membedakan mana nikmat dan mana musibah. Seluruh lembar hidupnya dimaknai sebagai kesusahan,
sehingga layak dikeluhkan.
Keempat, orang yang dangkal.
Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari menyebut-nyebut kehebatan
dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk Allah. Mengapa
harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?
Ada orang pakai cincin segera
berkomentar, "Oh, itu sih mirip cincin saya." Ada orang beli mobil baru, "Nah, ini
seperti yang di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat, "Kucing ini gondrong. Oh
yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah pernah ke Singapura, lho. Hebat sekali
kota Singapura. Hanya orang yang hebat saja bisa pergi ke sana." Orang-orang dangkal ini akan
terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan kata-kata kesombongan dan membanggakan
diri.
Orang-orang dangkal tiada bosan
mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya. Dia selalu ingin tampak menonjol dan
mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya teriris-iris, tidak
rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah ilmu gelas kosong. Gelas kosong,
maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya minta dihargai terus. Kita harus berhati-hati dalam
berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada
di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa yang Allah larang.
Dalam berbicara kita jangan
bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah perbuatan yang ringan, bahkan bagi sebagian orang
mungkin dianggap mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja,apalagi dengan kesadaran penuh
dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa besar.
"Dan janganlah kalian
ber-ghibah (bergunjing) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Apakah suka salah-seorang dari
kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan sangat jijik kepadanya. Dan
takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat." (QS Al-Hujurat:12).
Kita tidak bisa memaksa orang
lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik
menyikapi sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah banyak
berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi harus proporsional. Jika kita
berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita lakukan hal itu. Pembicaraan
seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak proporsional. Semua orang harus menjaga
lidahnya. Tidak peduli apakah itu orang-orang yang dianggap ahli agama. Orang-orang yang pandai
membaca Al-Quran atau hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah terjaga. Di sini tetap dibutuhkan
proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu kata-kata kita semakin meningkat.
Alangkah ironi jika orang-orang
yang ahli agama, namun tidak menjaga lisan. Dia banyak menasihati umat dengan
perilaku-perilaku yang baik, tapi saat yang sama dia tidak melakukan hal itu. Jika orang-orang preman
berkata kasar, jorok, dan tak mengenai tata krama, orang masih maklum. Namun, jika orang-orang
alim yang melakukannya, tentu ini adalah bencana serius.
Satu langkah konkret untuk
memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai mengurangi jumlah kata-kata. Makin sedikit bicara,
makin tipis peluang kesalahan. Sebaliknya makin banyak bicara, peluang tergelincir lidah semakin
lebar. Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali, kehormatan kita seketika akan
runtuh. Berbahagialah bagi siapa yang bisa berkata dengan akhlak tinggi. Selalu berkata baik. Jika
tidak, cukup diam saja!
Saudaraku, sadarilah bahwa lidah
ini adalah amanah. Tiap-tiap kata yang terucap darinya kelak akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah. Jadikan ucapan-ucapan kita adalah modal untuk mengundang keridhaan Allah.
Jangan jadikan kata-kata itu sebagai sebab datangnya murka dan kebencian-Nya.
Semoga Allah SWT membimbing lisan
kita untuk berucap mengikuti keteladanan Rasulullah saw. Ucapan itu keluar dari lisan
bagai untaian mutiara yang sarat dengan kebenaran, berharga, bermutu, dan membawa maslahat
bagi siapa pun yang mendengarkannya. Amin. Wallahu a'lam bish shawab.
COMMENTS