Sejarah Uang Emas dan Perang di Indonesia | Sriwijaya (Sriboza Islam) | Mataram | Majapahit | satuan kati atau keti, suwarņa, masa, kupang (suku), dan atak (satak) | dinar emas | United Amsterdam Company | United Zeeland Company | VOC | Vereenigde Oost-Indische Compagnie | Sejarah Bank Sentral Dan Uang Kertas Di Indonesia | De Javasche Bank | asal mula Bank Indonesia | Menkeu Sjafroedin Prawiranegara | Franklin D. Roosevelt | penyitaan emas rakyat | Brenton Woods Agreement | perjalanan sejarah standar emas dan perak
Pada jaman Sriwijaya (Sriboza Islam), Mataram dan Majapahit menggunakan uang emas dan perak dengan satuan kati atau keti, suwarņa, masa, kupang (suku), dan atak (satak), di mana 1 masa adalah sekitar 2,2-2,6 gram emas, atau setengah dinar, karena suku (satu kupang) beratnya 1/8 mitsqal atau sekitar 0,5-0,6 gram.
Dalam Ying-yai Sheng-lan, Ma Huan, melaporkan bahwa Samudera Pasai menggunakan dinar emas. Pasai telah mencetak dinar pada masa Sultan Muhammad (1297-1326) dengan satuan masa yaitu sekitar 2,3-2,6 gram, yaitu setengah mitsqal.
Pada masa Sultan Malik Az-Zahir (1346-1383), mencetak Dereuham Meuh (dirham emas). Deureuham ini kemudian dikenal sebagai Mayam, yaitu emas yang beratnya 7/10 mitsqal. Hingga kini Mayam masih digunakan di Aceh. Berat rata-rata koin tersebut adalah 0.56 -59 gram emas dengan diameter 10 -13 mm, dikenal dengan sebutan uang kancing, setara dengan 1/8 danik emas.
Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa karena uang yang dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal.
Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602) dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Kesultanan Gowa pada masa Sultan ‘Alauddin (1593- 1639) mencetak dinar dengan satuan masa yaitu 2,46 gram emas atau 1⁄2 mitsqal. Dinar Gowa yang paling banyak beredar adalah Dinar Sultan Hasan Al-din yang bertuliskan huruf Arab: Khada Allah Malik Wa Sultan Amin artinya Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin. Yang menyebar dari Ternate, Tidore, Minahasa, Butung, Sumbawa, Gowa Talo, bahkan Papua. Koin ini beredar dari tahun 1654-1902. Saat ini, seperti di Sumbar, tradisi jual beli dengan satuan mas juga masih berlaku di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan Kesultanan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama Derham Djawi atau Java Ducat atau Gold Rupee (untuk koin emas), dan Silver Java Rupee (untuk koin peraknya).
Koin yang pertama kali dibuat VOC di percetakan uang di Batavia adalah Derham Jawi dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab: Derham min Kumpani Welandawi dan Ila djazirat Djawa al kabir, yang artinya dirham dari Perusahaan Belanda untuk pulau Jawa Besar. Sedangkan di bagian belakangnya : Derham min Kompani Welandawi. Yang artinya : Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa BesarAdapun uang recehan (uang kecil) VOC dicetak tahun 1726 disebut dute, doit atau duit VOC. Setiap 80 duit sama dengan 1 Rupiah (setara 2 Dirham). Lalu tiap 16 Rupiah disebut sebagai satu mahar.
Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, dan dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya. Kedua jenis Derham Djawi ini baik buatan VOC maupun EIC beredar sampai tahun 1860, yaitu setelah berdirinya De Javasche Bank di Batavia pada tanggal 10 Oktober 1827, ketika Pemerintah Hindia Belanda telah mengimpor Gulden secara besar-besaran dari Eropa. Artinya pihak penjajah pun mengakui dan memproduksi dinar dan dirham sebagai mata uang yang sah selama 116 tahun, sementara Gulden sendiri baru dibuat oleh penjajah Hindia Belanda setelah tahun 1826 di Negeri Belanda.
Pada tahun 1825 -1830 terjadi perang Jawa atau perang Diponegoro, akibat perang yang berkepanjangan ini kas pemerintah Hindia Belanda menjadi kosong. Perang ini menelan biaya lebih dari 20 juta Gulden atau setara 40 juta Derham Jawa. Untuk memulihkan keuangannya dan mengisi kekurangan Kas Negara adalah diterapkannya sistem tanam paksa (Cultur Stelsel) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch selama kurun 1863-1919.
Pada tahun 1940 di Jawa ada 3 jenis uang yaitu uang kertas, uang logam dan uang gantian (surrogaat) uang logam dikeluarkan oleh pemerintah, uang kertas dikeluarkan oleh Javasche Bank. Uang logam yang beredar saat itu adalah: Uang Emas 10 dan 5 Rupiah, Uang Perak Ringgit, Rupiah, Suku, Tali, Picis, Nikel Bolong, Gobang (tembaga), sen, 1/2 sen (peser).
Uang emas disebut uang standar, ringgit, rupiah, suku disebut uang tanda, sedangkan tali sampai 1/2 sen (peser) disebut uang pasmunt. Uang ringgit, rupiah dan suku dapat digunakan sebagai alat tukar terbatas. 1 Mas adalah 0.58 gram, 1 Ringgit = 4 Mas
Uang standar merupakan alat bayar yang tidak terbatas, hutang sebesar apapun akan lunas jika dibayar dengan uang ini. Uang pasmunt atau fulus dibatasi peredarannya dalam transaksi. Uang emas menjadi patokan harga 1 rupiah emas sama dengan 10 rupiah perak, 1 Rupiah emas adalah 6.048 gram emas murni.
Pada masa pendudukan Inggris di Jawa dicetak koin emas dan perak yang disebut Java Rupee (1813-1816), pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno: Kempni Hinglis, Jasa hing sura-Pringga. Tahun Ajisaka AS 1741. Sedangkan di baliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa.
Pada tahun 1873, Hindia Belanda mulai melakukan misi penaklukan Aceh, dan terjadilah perang panjang yang terkenal dengan nama Perang Aceh, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe (1873-1942). Belanda belum dapat menguasai Aceh sepenuhnya. Secara de jure gulden adalah satu-satunya mata uang yang sah. Tapi secara de facto Derham mas Aceh adalah menyebar dan digunakan tidak hanya di Aceh tapi juga sampai Sumatera Barat dan Deli. Berat rata-rata Derheum Aceh adalah 0.57 - 0.60 gram, diameter 14 mm, kemurnian 18 karat.
Selanjutnya, ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon terpaksa menerapkan lebih tegas UU No. 2 tanggal 8 Maret 2602 (tahun Jepang Kooki atau tahun 1942) tentang mata uang. Jepang banyak mencetak mata uang kertas, dan hanya satu seri koin yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5 dan 10 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen terbuat dari timah.
Dalam Ying-yai Sheng-lan, Ma Huan, melaporkan bahwa Samudera Pasai menggunakan dinar emas. Pasai telah mencetak dinar pada masa Sultan Muhammad (1297-1326) dengan satuan masa yaitu sekitar 2,3-2,6 gram, yaitu setengah mitsqal.
Pada masa Sultan Malik Az-Zahir (1346-1383), mencetak Dereuham Meuh (dirham emas). Deureuham ini kemudian dikenal sebagai Mayam, yaitu emas yang beratnya 7/10 mitsqal. Hingga kini Mayam masih digunakan di Aceh. Berat rata-rata koin tersebut adalah 0.56 -59 gram emas dengan diameter 10 -13 mm, dikenal dengan sebutan uang kancing, setara dengan 1/8 danik emas.
Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa karena uang yang dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal.
Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602) dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Kesultanan Gowa pada masa Sultan ‘Alauddin (1593- 1639) mencetak dinar dengan satuan masa yaitu 2,46 gram emas atau 1⁄2 mitsqal. Dinar Gowa yang paling banyak beredar adalah Dinar Sultan Hasan Al-din yang bertuliskan huruf Arab: Khada Allah Malik Wa Sultan Amin artinya Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin. Yang menyebar dari Ternate, Tidore, Minahasa, Butung, Sumbawa, Gowa Talo, bahkan Papua. Koin ini beredar dari tahun 1654-1902. Saat ini, seperti di Sumbar, tradisi jual beli dengan satuan mas juga masih berlaku di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan Kesultanan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama Derham Djawi atau Java Ducat atau Gold Rupee (untuk koin emas), dan Silver Java Rupee (untuk koin peraknya).
Koin yang pertama kali dibuat VOC di percetakan uang di Batavia adalah Derham Jawi dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab: Derham min Kumpani Welandawi dan Ila djazirat Djawa al kabir, yang artinya dirham dari Perusahaan Belanda untuk pulau Jawa Besar. Sedangkan di bagian belakangnya : Derham min Kompani Welandawi. Yang artinya : Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa BesarAdapun uang recehan (uang kecil) VOC dicetak tahun 1726 disebut dute, doit atau duit VOC. Setiap 80 duit sama dengan 1 Rupiah (setara 2 Dirham). Lalu tiap 16 Rupiah disebut sebagai satu mahar.
Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, dan dimulailah babak baru masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya. Kedua jenis Derham Djawi ini baik buatan VOC maupun EIC beredar sampai tahun 1860, yaitu setelah berdirinya De Javasche Bank di Batavia pada tanggal 10 Oktober 1827, ketika Pemerintah Hindia Belanda telah mengimpor Gulden secara besar-besaran dari Eropa. Artinya pihak penjajah pun mengakui dan memproduksi dinar dan dirham sebagai mata uang yang sah selama 116 tahun, sementara Gulden sendiri baru dibuat oleh penjajah Hindia Belanda setelah tahun 1826 di Negeri Belanda.
Pada tahun 1825 -1830 terjadi perang Jawa atau perang Diponegoro, akibat perang yang berkepanjangan ini kas pemerintah Hindia Belanda menjadi kosong. Perang ini menelan biaya lebih dari 20 juta Gulden atau setara 40 juta Derham Jawa. Untuk memulihkan keuangannya dan mengisi kekurangan Kas Negara adalah diterapkannya sistem tanam paksa (Cultur Stelsel) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch selama kurun 1863-1919.
Pada tahun 1940 di Jawa ada 3 jenis uang yaitu uang kertas, uang logam dan uang gantian (surrogaat) uang logam dikeluarkan oleh pemerintah, uang kertas dikeluarkan oleh Javasche Bank. Uang logam yang beredar saat itu adalah: Uang Emas 10 dan 5 Rupiah, Uang Perak Ringgit, Rupiah, Suku, Tali, Picis, Nikel Bolong, Gobang (tembaga), sen, 1/2 sen (peser).
Uang emas disebut uang standar, ringgit, rupiah, suku disebut uang tanda, sedangkan tali sampai 1/2 sen (peser) disebut uang pasmunt. Uang ringgit, rupiah dan suku dapat digunakan sebagai alat tukar terbatas. 1 Mas adalah 0.58 gram, 1 Ringgit = 4 Mas
Uang standar merupakan alat bayar yang tidak terbatas, hutang sebesar apapun akan lunas jika dibayar dengan uang ini. Uang pasmunt atau fulus dibatasi peredarannya dalam transaksi. Uang emas menjadi patokan harga 1 rupiah emas sama dengan 10 rupiah perak, 1 Rupiah emas adalah 6.048 gram emas murni.
Pada masa pendudukan Inggris di Jawa dicetak koin emas dan perak yang disebut Java Rupee (1813-1816), pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno: Kempni Hinglis, Jasa hing sura-Pringga. Tahun Ajisaka AS 1741. Sedangkan di baliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa.
Pada tahun 1873, Hindia Belanda mulai melakukan misi penaklukan Aceh, dan terjadilah perang panjang yang terkenal dengan nama Perang Aceh, Prang Gompeuni, Prang Sabi dan Prang Kaphe (1873-1942). Belanda belum dapat menguasai Aceh sepenuhnya. Secara de jure gulden adalah satu-satunya mata uang yang sah. Tapi secara de facto Derham mas Aceh adalah menyebar dan digunakan tidak hanya di Aceh tapi juga sampai Sumatera Barat dan Deli. Berat rata-rata Derheum Aceh adalah 0.57 - 0.60 gram, diameter 14 mm, kemurnian 18 karat.
Selanjutnya, ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon terpaksa menerapkan lebih tegas UU No. 2 tanggal 8 Maret 2602 (tahun Jepang Kooki atau tahun 1942) tentang mata uang. Jepang banyak mencetak mata uang kertas, dan hanya satu seri koin yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5 dan 10 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen terbuat dari timah.
Bank Sentral Dan Uang Kertas Di Indonesia
De Javasche Bank (1826) adalah asal mula Bank Indonesia (Bank Sentral). Setelah kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno dan Menkeu Sjafroedin Prawiranegara menerbitkan UU No. 17 Tahun 1946 tentang Pengeluaran Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) pada tanggal 26 Oktober 1946 dengan dasar 10 Rupiah setara dengan 5 gram emas murni. 5 gram adalah pembulatan mitsqal ke atas.
Sehingga pada prakteknya dasar hukum UU No. 17 tersebut telah dilanggar sendiri oleh Pemerintah kita sehingga kita mendapati rupiah seperti sekarang ini. Tak ada jaminan emasnya lagi. Dan harga emas, pada pertengahan tahun 2009, ini bukan lagi Rp 2/gram, tetapi di atas Rp 320.000/ gram, yang artinya nilai rupiah kita dibuat merosot lebih dari 160.000 lebih rendah.
Tahun 1933, Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan penyitaan emas rakyat Amerika, kecuali untuk koin emas koleksi. Rakyat diberikan pilihan, menyerahkan koin emas mereka, dengan dibayar harga resmi $20,66 per ounce, atau membayar denda $10.000 dan dipenjara 10 tahun. Pada tahun 1934, Presiden Roosevelt menandatangani House Joint Resolution no 192 yang melarang masyarakat memiliki koin emas.
Tahun Harga 1935 harga emas resmi dinaikkan menjadi $35 per ounce. Namun mulai sekarang hanya pemerintahan luar negeri yang boleh menukarkan dolar dengan emas. Dari mana harga emas ditentukan di dunia? Sejak 1919, tempatnya adalah di kantor bank N.M. Rothschild & Sons di London, pada jam 11 pagi setiap hari.
Sehingga pada prakteknya dasar hukum UU No. 17 tersebut telah dilanggar sendiri oleh Pemerintah kita sehingga kita mendapati rupiah seperti sekarang ini. Tak ada jaminan emasnya lagi. Dan harga emas, pada pertengahan tahun 2009, ini bukan lagi Rp 2/gram, tetapi di atas Rp 320.000/ gram, yang artinya nilai rupiah kita dibuat merosot lebih dari 160.000 lebih rendah.
Tahun 1933, Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan penyitaan emas rakyat Amerika, kecuali untuk koin emas koleksi. Rakyat diberikan pilihan, menyerahkan koin emas mereka, dengan dibayar harga resmi $20,66 per ounce, atau membayar denda $10.000 dan dipenjara 10 tahun. Pada tahun 1934, Presiden Roosevelt menandatangani House Joint Resolution no 192 yang melarang masyarakat memiliki koin emas.
Tahun Harga 1935 harga emas resmi dinaikkan menjadi $35 per ounce. Namun mulai sekarang hanya pemerintahan luar negeri yang boleh menukarkan dolar dengan emas. Dari mana harga emas ditentukan di dunia? Sejak 1919, tempatnya adalah di kantor bank N.M. Rothschild & Sons di London, pada jam 11 pagi setiap hari.
Brenton Woods Agreement (1944) dirancang oleh John Maynard Keynes dan Harry Dexter White yang melahirkan IMF, WB dan WTO, dan mereferensikan setiap US$35 per ounce, sehingga terjadi euforia US$ bagi negara lain. Pada tahun 1971 Presiden Richard Nixon membatalkan sistem tersebut dengan melepaskan uang kertas tanpa jaminan emas dan perak, dengan menjadikan uang kertas (uang fiat) US Dollar sebagai standar dunia.
Demikianlah sekilas perjalanan sejarah standar emas dan perak atau dinar dan dirham, yang dapat kita lihat peralihan standar logam bimetal ini berubah kepada uang fiat dan ini bukanlah suatu kebetulan. Perubahan ini dirancang sedemikian rupa oleh oligarki keuangan global (kapiltalisme global) yang telah dimulai sejak abad 17, hari ini sistem riba ini dimapankan dalam model negara modern, bank sentral dan undang-undang yang menghalalkan sistem riba (bank dan uang kertas), dengan cara ini mereka melakukan penjajahan terselubung dan serta perampokan dari suatu bangsa dan sumber alamnya secara sistematis.
Dalam waktu kurang dari lima puluh tahun sistem riba, bank dan uang kertas telah menimbulkan berbagai masalah yang luar biasa. Selanjutnya kita ingin melihat kembali apa itu uang kertas dan apa pandangan fikih Islam atas hal tersebut.
COMMENTS