K.H. Abdullah Gymnastiar Setiap orang ingin merasakan kebahagiaan. Ada yang menyangka dengan datangnyauang maka ia akan menjad...
K.H. Abdullah Gymnastiar
Setiap orang ingin merasakan
kebahagiaan. Ada yang menyangka dengan datangnyauang maka ia akan menjadi
bahgia sehingga iapun mencari uang mati-matian.Ada juga yang menyangka bahwa
kedudukan bisa membuatnya bahagia, maka ia pun mencoba merebut kedudukan. Ada
yang menyangka penampilanlah yang akan membuatnya bahagia, maka mati-matian ia
mengikuti mode. Ada yang menyangka banyaknya pengikut membuatnya bahagia, begitu
seterusnya.
Setiap kali kita membutuhkan sesuatu dari selain kita, kita menyangka bahwa itulah yang akan membuat kita bahagia. Kita menggantungkan harapan pada selain kita, selain Allah. Padahal semakin kita berarap orang lain berbuat sesuatu untuk kita maka sebenarnya peluang bahagia itu malah akan terus menurun. Kenapa? Ibarat cahaya matahari yang memancar tanpa membutuhkan input dari luar, kebahagiaan yang hakiki itu justru datng bukan dari seseorang atau dari sesuatu.
Salah satu bentuk kebahagiaan yang
sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan segala urusan kepada Allah. Bagi
orang yang mengenal Allah dengan baik,
dan ia tidak berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan.
Maka bagi kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin
dihormati, masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin
diberi ucapan terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau
masih sangat ingin dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan penghargaan
dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita. Barang siapa yang
berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah mulai bisa
menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain dan bukannya diberi
senyuman; atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain dan bukan disapa,
nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita tidak berharap
orang berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam menikmati
hidup ini. Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya beraneka
kemunkaran, kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita terlalu banyak
berharap kepada makhluk dan tidak kepada Allah.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan
Allah, suatu ketika Rasulullah Saw. ditanya, "Ya Rasulullah, mengapa
engkau diutus ke bumi?" Maka jawaban Rasulullah sangat singkat sekali,
"Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak." Menurut Imam Al Ghazali, berdasarkan apa yangbisa saya fahami,
akhlak itu adalah respon spontan terhadap suatu kejadian. Pada saat kita diam,
tidak akan kelihatan bagaimana akhlak kita. Akan tetapi ketika kita ditimpa
sesuatu baik yang menyenangkan ataupun sebaliknya, respon terhadap kejadian
itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita. Kalau respon spontan kita itu yang
keluar adalah kata-kata yang baik, mulia, berarti memang sudah dari dalamlah
kemuliaan kita itu. Tanpa harus dipikir banyak, tanpa harus direkayasa, sudah
muncul kemuliaan itu. Sebaliknya kalau kita memang sedang dikalem-kalem, tiba-tiba
terjadi sesuatu pada diri kita, misalnya sandal kita hilang, atau ada orang
yang menyenggol, mendengar bunyi klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah
serapah yang keluar dari mulut kita, maka lemparan yang keluar sebagai respon
spontan kita itulah yang akan menunjukkan bagaimana akhlak kita. Maka jika
bertemu dengan orang yang meminta sumbangan lalu kita berfikir keras diberi
atau jangan. Kita berfikir, kalau dikasih seribu, malu karena nama kita
ditulis, kalau diberi lima ribu nanti uang kita habis. Terus... berfikir keras
hingga akhirnya kita pun memberi akan tetapi niatnya sudah bukan lagi dari hati
kita karena sudah banyak pertimbangan.Padahal keinginan kita semula adalah
untuk menolong. Kalau sudah demikian, sebetulnya bukan akhlak dermawan yang
muncul.
Saudar-saudaraku sekalian, inilah
sekarang paling menjadi masalah bagi peradaban kita. Kita empunyai anak, dia
memiliki gelar yang bagus, sekolahnya pun di tempat yang bergengsi, tapi
akhlaknya jelek, maka tidak ada artinya. Kita punya dosen, gelarnya berderet
banyak, rumahnya pun mentereng, tapi jikalau akhlaknya, celetuk-celetukannya
atau sinisnya tidak mencerminkan struktur keilmuan seperti yang dimilikinya,
maka jatuhlah ia. Ada orang yang dianggap dituakan, tetapi akhlaknya jelek,
maka walaupun ia dituakan, dia gagal mendapatkan penghormatan. Atau kita punya
atasan, seorang pejabat yang bagus karirnya akan tetapi akhlaknya, ...masya
Allah, sudah punya isteri tapi ia dikenal berzina dengan perempuan lain, di
kantor ia mengambil harta dengan cara tidak halal, maka jatuhlah ia.
Sekarang ini krisis terbesar kita
memang krisis akhlak. Oleh karena itu, saya sependapat dengan seorang pengusaha
terkenal dari Jepang yang mengatakan bahwa jikalau seseorang ingin memimpin
perusahaan dengan baik, maka sebetulnya skill atau keahlian itu cukup 10% saja,
yang 90% adalah akhlak. Karena akhlak yang baik, orang yang cerdas pun mau
bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa tersejahterakan lahir batinnya.
Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian kepada mereka diberikan motivasi
dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah prestasi yang besar. Oleh karena
itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik orang yang berakhlak mulia.
Sekedar ilustrasi, suatu saat
sedang terjadi dialog antara suami dan isteri. Sang isteri menginginkan anaknya
menjadi bintang kelas, akan tetapi sang suami mengatakan bahwa bintang kelas
itu bukan alat ukur kesuksesan anak sekolah. Menjadi bintang kelas itu tidak
harus, tidak wajib. Yang wajib bagi anak itu adalah memiliki akhlak yang mulia.
Apalah artinya ia menjadi bintang kelas apabila kemudian ia jadi terbelenggu
oleh keinginan dipuji teman-temannya. Jadi dengki terhadap orang-orang yang
pandai dikelasnya, atau menjadi takabbur karena kepandaiannya itu. Apa artinya
bintang kelas seperti ini? Lebih baik lagi jika kita bangun mental anak kita
lebih bagus, matang pada tiap tahapannya. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan
menjadi bintang kelas, maka itu adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia
pun sudah siap denga mentalnya: tidak dengki, tidak iri, tidak jadi sombong.
Nilai ini tentunya jadi lebih bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya.
Apalah artinya kita lulus terbaik jika kemudian menjadi jalan ujub takabbur.
Lulus itu hanya nilai,nilai, nilai....
Saudara-saudara sekalian, inilah
yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran kita. Kita berbicara seperti ini
sebenarnya bukan untuk memikirkan seseorang. Siapa yang akhlaknya demikian,
demikian...Kita berbicara seperti ini adalah untuk memikirkan diri kita
sendiri. Apakah saya itu berakhlak benar atau tidak? Bagaimana cara
melihatnya?Ya, lihat saja kalau kita mendapati masalah. Bagaimana respon
spontan kita? Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah kita? Apakah kita
cukup temperamental? Apakah kata-kata kita keji, menyakiti, arogan? Itulah diri
kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini. Bergantung
apa yang kita lakukan. Apakah dengan DT bisa menjadi sebesar ini sudah menjadi
tanda kesuksesan? Belum. Masih jauh. Kalau hanya alat ukur kemajuan bertambahnya
bangunan atau tanah, ah... orang-orang kafir juga bisa melakukannya. Kalau
hanya sekedar jama'ah berhimpun banyak, itupun gampang. Tetapi apakah dakwah
ini elah mampu merobah akhlak kita? Itulah alat ukurnya.
Sering diungkapkan, bagaimana
ukuran kesuksesan seseorang dalam berdakwah? Gampang. Kesuksesan seseorang yang
berdakwah adalah apakah dirinya pun bisa berubah menjadi lebih baik atau tidak?
Kalau hanya berbicara seperti ini, mengeluarkan dalil tapi yang bersangkutan
akhlaknya tidak berubah, itu malah mencemarkan agama. Kesuksesan dakwah bukan
karena banyaknya pendengar atau jumlah jama'ah karena dakwah itu bukan sekedar
menikmati kata-kata. Kesuksesan berdakwah adalah ketika yang berdakwah ini pun
semakin baik akhlaknya, semakin tinggi nilai kepribadiannya. Insya Allah.
Mudah-mudahan keluhuran pribadi itulah yang menjadi alat dakwah kita. Bukan
hanya mengandalkan kekuatan kata-kata belaka.
Barakallahu lii wa lakum.
COMMENTS