Nazis & Zionis - Catatan Hitam Politik Dunia

konspirasi zionis, Sejarah dan Biografi Islam, Nazis & Zionis - Catatan Hitam Politik Dunia

KISAH TAK TERUNGKAP PERSEKONGKOLAN NAZI-ZIONIS

Awal tahun 1935, sebuah kapal penumpang memulai perjalanannya dari Bremerhaven, Jerman, menuju Haifa di Palestina.  Nama kapal ditulis pada lambung haluannya dalam abjad Ibrani: Tel Aviv.  Namun, bendera yang berkibar di atas Tel Aviv berisi swastika Nazi.  Ada kejanggalan serupa mengenai para pemilik dan anak buah kapal itu.  Para pemilik Tel Aviv adalah orang Yahudi, dan Zionis.  Akan tetapi, kaptennya seorang anggota Partai Pekerja Jerman Sosialis Nasional (Nazi).  

Bertahun-tahun kemudian, seorang penumpang pada pelayaran itu akan menafsirkan suasana Tel Aviv sebagai suatu ‘kejanggalan yang abstrak’.  Namun, persekongkolan Nazi-Zionis yang dilambangkan oleh Tel Aviv sama sekali bukan suatu kejanggalan.  Sebaliknya, kapal itu cuma satu contoh sebuah kenyataan yang secara hati-hati disembunyikan oleh para penulis sejarah resmi.  Perjalanan memukau Tel Aviv di bawah bendera Nazi diceritakan kembali oleh sejarawan Amerika, Max Weber, di dalam artikelnya yang berjudul Zionism and the Third Reich (Zionisme dan Reich Ketiga) (di dalam The Journal of Historical Review, Juli/Agustus 1993), tempat Weber mengutarakan aneka segi hubungan terselubung antara kaum Nazi dan Zionis.

Apakah alasan di balik persekutuan rahasia ini, yang sepintas amat sukar dipercaya?  Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus kembali ke masa silam.


Dari Diaspora Sampai Zionisme

Kaum Yahudi, salah satu bangsa tertua di dalam sejarah, telah tinggal di Palestina dan sekitarnya selama berabad-abad sebelum tahun 70 M.  Tahun itu, tentara Romawi memadamkan pemberontakan kaum Yahudi di Palestina dan Yerusalem; mereka menghancurkan kuil Yahudi, dan mengusir sebagian besar kaum Yahudi dari Palestina.Sejak saat itu dimulailah masa Diaspora, atau penyebaran kaum Yahudi, yang berlangsung selama berabad-abad.  Kaum Yahudi tersebar ke seluruh penjuru dunia yang sudah dikenal.  Sejumlah besar akhirnya menetap di Eropa, berangsur-angsur terpusat di Spanyol dan Eropa Timur.  Fakta Diaspora yang patut dicatat adalah bahwa sebagian besar kaum Yahudi tak membaur ke dalam masyarakat tempat mereka tinggal.


Ada dua alasan mengapa kaum Yahudi gagal membaur.  Pertama, mereka menganggap diri lebih unggul daripada kaum lain, berdasarkan atas keyakinan mereka yang berakar kuat di dalam kitab Perjanjian Lama bahwa mereka orang-orang pilihan Tuhan.  Karena Yahudi itu kaum pilihan, percampuran atau pembauran dengan kaum yang lebih rendah tak bisa mereka terima, bahkan suatu kehinaan.  Alasan kedua, yang hampir tak kalah pentingnya, adalah cara masyarakat-masyarakat lain memandang kaum Yahudi.  Orang-orang Eropa khususnya kurang bersahabat terhadap kaum Yahudi.  Selama Abad Pertengahan, kaum Nasrani memiliki rasa tak suka mendalam terhadap kaum Yahudi, yang tidak memuja Yesus Kristus dan telah menyerahkannya kepada orang-orang Romawi.  Orang Katolik Eropa tak menyukai orang Yahudi, dan orang Yahudi pun tak menyukai orang Katolik Eropa.

Keadaan-keadaan masa Diaspora mendorong kaum Yahudi mengambil status sosial tersendiri.  Mereka tak senang dengan tatanan yang ada; pada saat yang sama, mereka memiliki kekuasaan mengubah tatanan itu.  Kekuasaan mereka terletak pada uang.  Sumber uang mereka adalah pekerjaan kaum Yahudi yang terpenting selama Abad Pertengahan, sebagaimana juga di masa kini, yakni, penarik riba (rentenir), atau meminjamkan uang dengan bunga.  Pihak Gereja telah melarang jemaatnya untuk meminjamkan uang dengan bunga karena itu perbuatan dosa menurut doktrin Nasrani.  Meminjamkan uang dengan bunga kepada selain Yahudi tidaklah dilarang dalam agama Yahudi.  Jadilah, kaum Yahudi Eropa bersejati (identik) dengan praktik penarik riba.  Lewat pekerjaan ini, yang diwariskan turun-temurun, kaum Yahudi mampu menimbun kekayaan yang besar.  Pada akhir Abad Pertengahan, para penarik riba Yahudi meminjamkan uang kepada para pangeran, bahkan kepada para raja, dengan suku bunga tinggi.

Kaum Yahudi menggunakan kekuatan ekonomi yang mereka peroleh untuk mengikis tatanan yang mapan di Eropa.  Mereka mendukung permusuhan terhadap Gereja Katolik, yang mencapai puncaknya di masa Reformasi Protestan.  Satu bukti tentang hal ini adalah hubungan bersahabat di antara orang-orang Yahudi dan beberapa pendiri aliran Protestan seperti Jan Hus, John Calvin, dan Ulrich Zwingli, serta, pada awalnya, Martin Luther.  Sumber-sumber Katolik terkadang menyatakan bahwa para pemimpin Protestan itu ‘setengah Yahudi’ atau ‘Yahudi terselubung’. 

Reformasi Protestan melemahkan Gereja Katolik dan memberikan peluang bagi kaum Yahudi memperoleh hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan tertentu, khususnya di Eropa Utara.  Akan tetapi, bagi kebanyakan orang Yahudi, itu belumlah cukup.  Kaum Yahudi mempunyai kekuatan ekonomi, namun kurang mempunyai kekuatan politik.  Kekuatan politik saat itu dibagi di antara Gereja, para raja, dan para ningrat.  Di sini, patut dicatat bahwa kaum Yahudi mulai memasuki sebuah kelas sosial yang berbeda dengan Gereja, kerajaan, atau keningratan.  Kelas sosial baru ini adalah kaum borjuis.

Di abad ke-18 dan 19, para bankir Yahudi menjadi kekuatan ekonomi terpenting di Eropa.  Selama abad ke-19, kekuatan dinasti perbankan Rothschild secara khusus menjadi buah bibir.  Keluarga Rothschild dianggap sebagai raja-raja pembiayaan tingkat tinggi Eropa.Golongan borjuis, yang di dalamnya kaum Yahudi berperan utama, mendapatkan kekuatan politik melalui Revolusi Perancis serta reformasi-reformasi dan perubahan-perubahan yang mengikutinya.  Para pemimpin Masa Pencerahan, yang meletakkan dasar-dasar Revolusi Perancis, berkeberatan dengan peran agama dalam kehidupan masyarakat dan merintis demokrasi di atas monarki.  Mengeluarkan agama dari kehidupan masyarakat berarti memperlakukan orang tanpa memandang keimanan agamanya.  Jadi, di masa setelah Revolusi Perancis, kaum Yahudi di seluruh Eropa mulai memperoleh hak seperti kaum Nasrani.  Kebanyakan negara-negara Eropa akhirnya menghapus pembatasan-pembatasan sosial dan hukum pada kaum Yahudi.  Kini, Eropa dipimpin bukan oleh tatanan agama, melainkan tatanan sekuler, dan kaum Yahudi berbagi hak yang sama dengan pemeluk Nasrani.  Sekarang pun, mereka dapat menapaki jabatan pemerintahan dan memperoleh kekuatan politik.  Dan itulah yang terjadi.
Gerakan Anti-ulama mendapatkan kekuatan dengan Reformasi yang dimulai pada Abad Pertengahan. Luther (kanan) dan Calvin (kiri) adalah pemimpin yang paling penting gerakan Protestan itu agama. Salah satu fitur utama dari tokoh agama reformis adalah hubungan dekat mereka dengan orang-orang Yahudi tertentu.


Orang Yahudi pertama yang memasuki Majelis Perwakilan Tinggi Inggris adalah bankir dari keluarga Rothschild.  Tak lama kemudian, seorang Yahudi lain, Benjamin Disraeli, menjadi perdana menteri Inggris Raya.  Sementara itu, prasangka dan kebencian masyarakat terhadap kaum Yahudi menurun di benua Eropa, sebab pengaruh Nasrani melemah.  Di semua negara di Eropa Utara, khususnya Inggris, kebencian yang mengakar terhadap kaum Yahudi kini ditukar dengan kecenderungan menghargai mereka dengan simpati dan membela hak-hak mereka.Yang terpenting dari ‘hak-hak’ itu adalah impian indah kaum Yahudi selama berabad-abad, yaitu cita-cita pulang ke Palestina.  Ya, sejak pengusiran mereka pada tahun 70 M, kaum Yahudi mempertahankan ikatan batin kepada tanah itu.  

Selama abad-abad panjang menghuni Eropa, mereka melihat diri sendiri sebagai orang yang terasingkan, dan memimpikan suatu kepulangan, suatu hari, ke “tanah air” mereka.  Selama upacara-upacara tahun baru Yahudi, harapan yang menggetarkan tentang “tahun depan di Yerusalem” selalu diungkapkan.  Kaum Yahudi sangat ingin tinggal tidak di tanah-tanah biasa, melainkan di Kanaan (Palestina), Tanah yang Dijanjikan Tuhan kepada mereka, kaum pilihanNya.  Sampai saat itu, kaum Yahudi meyakini bahwa kepulangan ke Palestina hanya akan mungkin dengan pertolongan seorang juru selamat yang disebut Messiah.  Akan tetapi, pada pertengahan abad ke-19, dua orang rabbi (pendeta Yahudi) merumuskan penafsiran baru atas doktrin ini.  Keduanya, Rabbi Judah Alkalay dan Rabbi Zevi Hirsch Kalisher, menyatakan bahwa tak usah lagi menunggu datangnya Sang Messiah.  Menurut penafsiran mereka atas naskah kuno suci Yahudi, kaum Yahudi dapat pulang ke Palestina lewat kekuatan politik dan ekonomi sendiri, dengan bantuan kekuatan-kekuatan besar Eropa.  Ini akan menjadi langkah awal datangnya Messiah.

Penafsiran rabbi ini mempengaruhi para nasionalis muda Yahudi yang kurang taat agama, yang jatidiri keyahudiannya berdasarkan pada kesadaran akan ras dan bangsa.  Tak terbantahkan, yang paling terkenal di antara mereka adalah seorang wartawan muda Austria bernama Theodor Herzl.  Dengan menjelmakan penafsiran ulang doktrin kedua rabbi menjadi suatu gerakan politik aktif, Herzl mendirikan Zionisme politik.  Zionisme mengambil namanya dari Gunung Zion yang suci di Yerusalem; tujuannya adalah pulangnya kaum Yahudi sedunia ke Palestina.  Herzl memimpin kongres Zionis pertama di Basel, Swiss.  Di sana mereka mendirikan World Zionist Organisation (Organisasi Zionis Dunia).  Kelompok ini akan mengarahkan gerakan Zionis dengan penuh kesabaran dan keteguhan hingga berdirinya negara Israel.  WZO mempunyai dua tujuan utama: menjadikan Palestina tempat yang cocok bagi pemukiman kaum Yahudi, dan mendorong seluruh kaum Yahudi, mulai dengan yang di Eropa, berpindah ke Palestina.

Dalam beberapa tahun saja, kemajuan yang cukup berarti telah tercapai ke arah tujuan pertama.  Dengan menerbitkan Deklarasi Balfour di tahun 1917, Pemerintah Inggris mengumumkan bahwa negerinya mendukung pendirian tanah air Yahudi di Palestina, yang direbut Inggris dari Khilafah Utsmaniyyah selama Perang Dunia I.  Deklarasi Balfour adalah sebuah kemenangan besar bagi kaum Zionis.  Inggris, kekuatan militer dan politik terbesar di dunia saat itu, telah sangat terbuka menyatakan mendukung mereka.  Deklarasi itu menunjukkan kepada banyak orang, termasuk banyak orang Yahudi yang menganggap Zionisme sepotong mimpi belaka, betapa kuat sesungguhnya gerakan Zionis.

Tujuan kedua gerakan, yaitu pemukiman kembali kaum Yahudi dari Diaspora ke Palestina, jauh kurang berhasil.  Ini menciptakan masalah besar bagi kaum Zionis.  Meskipun banyak seruan dari WZO, kaum Yahudi Diaspora, khususnya yang di Eropa, yang paling bernilai bagi kaum Zionis, memutar punggung pada kepulangan terencana ke Palestina.  Alasan penolakan mereka bukanlah semata-mata ketakpedulian.

Pembauran: Sebuah Masalah Bagi Gerakan Zionisme

Alasan kaum Yahudi Eropa menolak “pulang” ke Palestina adalah proses pembauran, yang di dalamnya mereka telah terlibat selama hampir seabad.  Pembauran ini akibat tak terhindarkan dari diperolehnya persamaan hak dengan pemeluk Nasrani.  Sebagaimana telah dicatat, kaum Yahudi adalah “warga negara kelas dua” selama Abad Pertengahan karena pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepada mereka akibat kepercayaan agama mereka.  Para pemimpin kaum Yahudi mengira bahwa mereka bisa mendapatkan kekuasaan politik, membuktikan bahwa kaum Yahudi itu kaum pilihan, dan pulang ke Palestina jika pembatasan-pembatasan itu dapat disudahi.  Karena itu, mereka telah berupaya menghancurkan sistem feodal Katolik di Eropa, juga telah berperan penting dalam keruntuhan Katolik Eropa dan pengenalan ke zaman modern.
Gerakan Anti-ulama mendapatkan kekuatan dengan Reformasi yang dimulai pada Abad Pertengahan. Luther (kanan) dan Calvin (kiri) adalah pemimpin yang paling penting gerakan Protestan itu agama. Salah satu fitur utama dari tokoh agama reformis adalah hubungan dekat mereka dengan orang-orang Yahudi tertentu.
Akan tetapi, zaman modern berpengaruh yang tak dibayangkan sebelumnya oleh kaum Yahudi.  Dengan menurunnya peran agama di masyarakat Eropa dan penghapusan pembatasan-pembatasan terhadap kaum Yahudi, dasar kerekatan Yahudi, maupun kunci penolakan Yahudi terhadap pembauran, ikut memudar.  Di saat ini, kaum Yahudi mulai berbaur, menjadi bagian masyarakat Eropa tempat mereka tinggal.  Sambil memperoleh persamaaan hak, orang-orang Yahudi juga melepaskan jatidiri keyahudiannya.  Pada akhir abad ke-19, mayoritas kaum Yahudi di negara-negara Barat mulai menganggap diri orang Jerman, Perancis, atau Inggris yang beriman Yahudi, bukan suatu bangsa tersendiri.

Di sisi lain, pemikiran kaum Zionis amatlah berbeda.  Menurut teori Zionis, menjadi seorang Yahudi bukan semata urusan agama: itu sebuah urusan ras.  Ras Yahudi sebenarnya amat berbeda dari bangsa Eropa; mereka kaum Semit dan tak hendak berbaur.  Di mata Zionis, mengaku sebagai Yahudi Jerman atau Yahudi Perancis itu tak masuk akal.  Orang Yahudi berbeda dari ras mana pun, Eropa maupun bukan, tanpa memandang apakah beragama ajaran Musa atau ateis.  Karena itu, merupakan suatu penyakit bagi orang Yahudi untuk bergaul dan berbaur dengan ras lain.  Kaum Yahudi memerlukan suatu negara sendiri, dan negara ini harus di Palestina, kampung halaman turun-temurun ras Yahudi.

Singkatnya, orang-orang Yahudi yang berbaur adalah penderita sakit yang memerlukan pertolongan.  Orang Yahudi seperti itu, yang teracuni kenyamanan hidup zaman modern dan menganggap diri tidak berbeda dari ras-ras lain yang menghuni Eropa, harus disembuhkan sesegera mungkin.  Jika tidak, impian tentang sebuah negara Yahudi akan tetap tinggal impian.

Namun, bagaimana cara menyembuhkan orang-orang Yahudi itu?  Para pemimpin Zionis segera menyadari bahwa tugas ini suatu tugas yang sulit, sebab kaum Yahudi pembaur (asimilasionis) menentang keras Zionis.  Kebanyakan organisasi Yahudi pembaur mengeluarkan pernyataan yang keras menolak pernyataan-pernyataan kaum Zionis.  Mereka menyatakan bahwa masyarakat mereka Yahudi hanya dari segi agama, bahwa kaum Yahudi warga yang setia kepada negara tempat mereka tinggal, dan akhirnya, bahwa mereka tak berkeinginan pulang ke gurun-gurun pasir Palestina.  Di saat Theodor Herzl memimpin propaganda kaum Zionis di Eropa, sebuah konperensi diselenggarakan di Pittsburgh, Amerika Serikat, yang menerbitkan sebuah deklarasi yang disebut “Eight Principle of Reform Judaism” (Delapan Prinsip Yudaisme Reformasi).  Kaum Yahudi pembaur di Amerika menarik perhatian dunia bahwa mereka menganggap diri pemeluk suatu agama, dan bukan anggota sebuah bangsa yang terpisah.  Karena itu, mereka tak berniat pulang ke Yerusalem maupun membangun kembali agama persembahan Bani Harun.  Mereka tidak mendukung sebuah negara Yahudi baru.7

Setelah beberapa deklarasi serupa mengikuti, para Zionis menyadari bahwa mereka tak akan mampu mengalahkan kaum Yahudi pembaur hanya dengan kata-kata.

Namun, bagaimana bisa dibuktikan bahwa kaum Yahudi sebenarnya suatu ras yang berbeda dengan ras-ras lain, dan bahwa mereka sungguh-sungguh orang asing di Eropa?  Sebelum zaman modern, pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya.  Bangsa Eropa, disebabkan kepercayaan agamanya, bersikap memusuhi kaum Yahudi yang akibatnya, secara tak langsung, membantu mempertahankan jatidiri kaum Yahudi.

Masyarakat Eropa turun-temurun menentang pembauran dengan kaum Yahudi, dan akibatnya pembauran terhalangi.  Namun, di masa kini, karena kemajuan zaman telah mendesak agama keluar dari kehidupan masyarakat, sulit menciptakan pembatasan-pembatasan, atau mengarahkan kebencian berdasarkan fanatisme agama, terhadap kaum Yahudi.

Rasisme Abad ke-19 dan Anti-Semitisme Modern

Walau demikian, masih tersisa satu pilihan.  Karena ideologi telah menggantikan agama, sebuah ideologi dapat digunakan untuk menghentikan pembauran.

Di sini, kaum Zionis menemukan sesuatu yang sangat berguna: suatu ideologi baru yang kukuh menentang pembauran kaum Yahudi berkembang kian pesat di Eropa.  Ideologi itu adalah rasisme modern yang berlandaskan pada positivisme (pandangan bahwa yang penting adalah apa yang bisa diindra dan diukur) abad ke-19 dan diperkuat oleh teori evolusi Darwin.  Selama abad ke-19, ahli-ahli teori yang rasis bermunculan di seluruh Eropa.  Para ahli teori ini, saat mengamati bahwa umat manusia terdiri dari ras-ras yang berbeda, menganggap bahwa watak terpenting seorang manusia adalah rasnya.  Suatu ras tidak dapat menghadapi resiko lebih besar daripada kehilangan kemurniannya lewat percampuran dengan ras-ras lain.

Pada saat yang sama, para ahli teori rasial, terutama di Jerman, namun juga di negara-negara lain, memaparkan teori-teori anti-Semit.  Dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan antara ras Arya dan Semit, mereka menyatakan bahwa kaum Yahudi telah mencemari kemurnian rasnya sendiri dengan hidup di antara bangsa Eropa.  Menurut para pemikir ini, kaum Yahudi harus dikucilkan, dan perkawinan dengan mereka dicegah.  Kebencian fanatik terhadap kaum Yahudi yang berdasarkan pada seruan melakukan pengucilan sosial ini dikenal sebagai anti-Semitisme modern – modern, sebab menentang kaum Yahudi bukan karena agamanya sebagaimana di Abad Pertengahan, melainkan karena rasnya.  Anti-Semitisme mencapai puncaknya pada Kasus Dreyfus yang terkenal.  (Alfred Dreyfus adalah seorang tentara Perancis berkebangsaan Yahudi yang dituduh menjual rahasia negara.)

Di sini, kita menemukan suatu fakta yang amat menarik.  Bukan hanya kaum rasis Eropa yang merasa tak nyaman dengan pembauran Yahudi.  Juga ada kelompok lain yang merasa terancam – atas nama ras Yahudi.  Merekalah kaum Zionis, yang menganggap keyahudian bukan sebuah agama, melainkan jatidiri kebangsaan.  Ini sebuah gambaran yang menarik.  Tak satu pun dari kedua pihak menginginkan kaum Yahudi bercampur di luar rasnya; yang satu ingin menjaga Yahudi agar tetap terpisah, sementara yang lain ingin melindungi jatidiri keyahudiannya. 
Peristiwa Dreyfus pada tahun 1894 merupakan contoh penting dari anti-Semitisme yang tumbuh di Eropa. Alfred Dreyfus, seorang perwira tentara Perancis dituduh makar dan informasi bocor ke atase militer Jerman, dihukum, meskipun banyak bukti yang mendukung dia tidak bersalah, hanya karena ia adalah seorang Yahudi.
Karena itu, mengapa mereka tidak bekerjasama?
Tanggapan langsung atas pertanyaan ini datang dari Theodor Herzl, pendiri Zionisme.

Anti-Semitisme: Sebuah Siasat Herzl

Kemajuan pembauran kaum Yahudi yang tampaknya tidak tercegah (dan penolakan kaum Yahudi pada program Zionis) memacu kaum Zionis ke arah persekongkolan dengan para anti-Semit.  Orang yang memulainya adalah Theodor Herzl, pemimpin pertama gerakan Zionis.  Herzl menyadari bahwa, untuk memaksa kaum Yahudi meninggalkan rumah-rumah mereka saat itu dan pindah ke Israel, anti-Semitisme adalah sebuah kebutuhan.  Upaya apa pun untuk meyakinkan kaum Yahudi berpindah ke Tanah Suci Palestina memerlukan gerakan anti-Semit yang andal sebagai pendorong.
Sementara itu, anti-Semitisme, yang muncul bersamaan dengan rasisme abad ke-19, telah memadamkan harapan banyak orang Yahudi yang berpikir mereka dapat tinggal di Eropa bebas dari pembedaan perlakuan dan pelecehan.  Herzl menekankan bahwa anti-Semitisme itu suatu penyakit yang tak tersembuhkan, dan satu-satunya penyelamatan bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Palestina.  Pendapat Hezl bahwa orang Yahudi dan bukan Yahudi tak dapat hidup berdampingan sangat sejalan dengan pemikiran anti-Semit.  Mengomentari kesejajaran ini, Hezl menyatakan bahwa anti-Semitisme dapat sangat membantu kampanye Zionis.

Herzl tak puas memikat kaum Yahudi berpindah dengan ajakan-ajakan diplomatis.  Sebagaimana ditulis oleh seorang tokoh politik dan cendekiawan tersohor Perancis Roger Garaudy dalam bukunya The Case of Israel: A Study of Political Zionism (Kasus Israel: Sebuah Kajian tentang Zionisme Politik), Herzl menyokong pemisahan kaum Yahudi bukan untuk membina suatu agama atau budaya yang terpisah, melainkan sebuah negara.  Herzl bahkan melanjutkan dengan berjanji kepada Plehve, menteri dalam negeri Rusia semasa pogrom-pogrom (pembantaian kaum Yahudi) Kishinev yang keji, bahwa ia akan menang atas kaum Yahudi yang berperan besar dalam hasutan revolusi melawan tsar (raja Rusia), sehingga mencegah pemberontakan, sebagai balasan atas bantuan Rusia mengirimkan orang-orang Yahudi kembali ke Palestina.8
Sebuah foto, pada pameran di Yerusalem, menunjukkan orang-orang Yahudi disembelih di Kichinev pada tahun 1903
Rencana Herzl bersekongkol dengan orang-orang anti-Semit telah menjadi cara yang paling disukai para pemimpin Yahudi penerusnya.  Akhirnya, Herzl menjadi pendukung pergerakan anti-Semit yang bersemangat.  Roger Garaudy menulis bahwa pada tahun 1896, sebelum menerbitkan bukunya The Jewish State (Negara Yahudi), Herzl menjawab kecaman bahwa ia bekerja merugikan kaum Yahudi dengan menyatakan tanpa ragu bahwa para anti-Semit akan menjadi sahabat karib kaum Zionis.
Herzl dan para Zionis lainnya sepakat tentang tujuan-tujuan bersama.  Niat mereka adalah memindahkan semua kaum Yahudi ke Palestina.  Inilah sebuah pemecahan yang sempurna bagi para anti-Semit, yang ingin melindungi kemurnian ras mereka dari pencemaran melalui percampuran dengan kaum Yahudi.  Theodore Fritsch, penerbit Antisemitische Correspondenz (Surat-Menyurat Anti-Semit, belakangan disebut Deutsch-Soziale Blatter, Cacar Sosial Jerman), sebuah majalah anti-Yahudi tersohor, menyambut baik Kongres Zionis Pertama, dan mengirimkan ucapan selamatnya bagi penerapan sebuah teori yang mensyaratkan bahwa kaum Yahudi meninggalkan Jerman dan bermukim di Palestina.9

Herzl percaya bahwasanya akan berbahaya bagi Zionisme jika kaum Yahudi merasa kerasan di negara-negara tempat mereka berada; ia mengatakan: “Kaum Yahudi membentuk suatu masyarakat tunggal, dan tidak bisa dipadukan dengan kaum-kaum lain.  Namun, mereka memang berbaur dengan masyarakat mana pun jika merasa aman di dalamnya untuk waktu yang lama.  Dan itu tak akan pernah menjadi minat kita.” Karena itu, menurut pemimpin Zionis ini, langkah pertama yang harus diambil adalah menciptakan rasa permusuhan terhadap kaum Yahudi.

Sejalan dengan itu, para pemimpin Zionis akan mendorong ketegangan psikologis, membuat kaum Yahudi resah dengan serangan-serangan anti-Semit yang membikin geram.  Dengan tindakan-tindakan itu, para pemimpin Zionis berharap dapat meyakinkan kaum Yahudi bahwa mereka berada dalam bahaya di Diaspora dan bahwa mereka hanya dapat diselamatkan dengan berpindah ke Tanah Suci Palestina. 10

Foto ke samping menunjukkan Stalin dan Trotsky, dua tokoh paling penting dalam Revolusi Bolshevik, menangani orang banyak di Red Square. Bawah kiri: Salah satu poster propaganda yang digunakan selama Revolusi.
Herzl berupaya memancing kaum anti-Semit dengan sebuah cara yang mengejutkan, yakni menambahkan kalimat-kalimat pada buku hariannya yang akan mendorong mereka percaya pada persekongkolan Yahudi dan lalu

Theodor Herzl, pendiri Zionisme politik, mengatakan bahwa penguatan anti-Semitisme adalah satu-satunya cara menyelamatkan Yahudi dari pembauran dan memaksa mereka berpindah ke Palestina.
merangsang mereka menyerang kaum Yahudi.  Tiga seri buku harian Herzl diterbitkan di tahun 1922 dan 1923.  Seorang penulis Austria dan penerbit buku Österreichische Wochenschrift (Mingguan Austria), Josep Samuel Bloch, yang mengenal baik Herzl, menulis tentang buku-buku harian itu: “Surat-surat yang dikirimkan kepada Rothschild dan Baron Hirsch, serta penegasan bahwa orang Yahudi itu pemberontak dan penggerak revolusi berbakat di negara-negara yang mereka tinggali, cukup membawa kehancuran pada kaum Yahudi.  Herzl telah menyediakan musuh-musuh kaum Yahudi dasar bagi sebuah ‘pemecahan masalah Yahudi’.  Ia telah menunjukkan jalan untuk diikuti di dalam kegiatan mereka selanjutnya.  Buku-buku harian itu benar-benar mengerikan.”  Herzl bekerja keras membangkitkan anti-Semitisme dan membangun persekutuan dengan para anti-Semit sampai akhir hayatnya.  Upaya-upaya yang dilakukannya atas nama Zionisme tidak begitu berhasil: kebanyakan kaum Yahudi Eropa menolak pindah ke Tanah Suci Palestina.11

Perlawanan Kaum Yahudi Terhadap Zionisme

Organisasi Zionis Dunia WZO, yang didirikan Herzl dan terus berkembang setelah kematiannya yang mendadak di tahun 1904, bertujuan utama memukimkan kaum Yahudi di Palestina.  Sekalipun WZO berupaya, jumlah pendatang ke Palestina tetap lebih sedikit daripada yang diharapkan.  Malah, setelah beberapa tahun, kedatangan mulai menurun tajam.  Seakan belum cukup, sebagian mereka ternyata kembali ke negara asalnya.  Antara tahun 1926 dan 1931, sekitar 3.200 orang Yahudi meninggalkan Palestina setiap tahunnya.

IPada tahun 1932, di Palestina hanya ada 181 ribu orang Yahudi berbanding 770 ribu orang Arab.  Para pemimpin Zionis sangat maklum bahwa mereka tidak dapat mendirikan sebuah negara Yahudi dengan bangsa Arab membentuk mayoritas sebesar itu.

Lebih jauh, mayoritas kaum Yahudi di Eropa dan Amerika menolak berpindah ke Palestina antara tahun 1897 dan 1930-an.  Kaum Yahudi Jerman, Perancis, dan Amerika khususnya telah hidup makmur dan enggan melepaskan taraf hidup mereka yang tinggi untuk bermukim di Palestina.
Yahudi di banyak negara Eropa terpaksa tinggal di ghetto. Foto menunjukkan orang Yahudi yang dipaksa untuk meninggalkan ghetto di Polandia.
Banyak orang Yahudi tersohor di masa itu, seperti fisikawan Albert Einstein, filsuf Martin Buber, dan Profesor Judah Magnes, rektor pertama Universitas Ibrani di Yerusalem, bersemangat menentang Zionisme.  Masyarakat awam Yahudi juga tak kurang kerasnya menolak seruan para pemimpin Zionis untuk berpindah.  Kecuali sebagian kecil, kaum Yahudi Rusia juga menolak berpindah ke Palestina.  Bahkan, sebagian pendatang Zionis dari Rusia kembali ke sana setelah keadaan kehidupan di Palestina ternyata jauh dari yang diharapkan.

Selama tahun 1920-an, para pemimpin Zionis menyangka bahwa Deklarasi Balfour, yang telah membuka jalan bagi berdirinya tanah air Yahudi di Palestina, akan mempercepat proses perpindahan.  Namun, mereka merasakan kekecewaan yang menyesakkan.  Sementara jumlah kaum Yahudi di Palestina berlipat dua, mencapai 160 ribu orang pada tahun 1920-an, jumlah pendatang hanyalah sekitar 100 ribu orang.  Dari angka ini, 75 persen tidak bertahan di Palestina.  Pada tahun 1927, hanya 2.710 pendatang yang masuk; 5 ribu orang Yahudi pergi.  Di tahun 1929, orang Yahudi yang datang dan kembali sama jumlahnya.

Penurunan yang mencemaskan itu merupakan sebuah kegagalan besar gerakan Zionis, yang berupaya keras membawa sebanyak-banyaknya orang Yahudi ke Palestina dalam waktu sesingkat-singkatnya, bahkan jika perlu dengan kekerasan.  Sekalipun propaganda terus-menerus WZO, kepindahan ke Tanah Suci Palestina tetap sedikit.  Pada akhir abad ke-19, jumlah orang Yahudi di Palestina kurang dari 50 ribu, membentuk hanya 7 persen dari seluruh penduduk.  Bahkan pada saat Deklarasi Balfour (1917), jumlah kaum Yahudi tak lebih dari 65 ribu orang.  Selama 12 tahun antara 1920 dan 1932, hanya 118.378 orang Yahudi dimukimkan, dengan satu atau lain cara, di Palestina, bahkan tak sampai 1 persen dari jumlah orang Yahudi di dunia.

Jelas sudah bahwa kebijakan Zionis tidak berhasil.  Satu-dua gerakan anti-Semit tidaklah cukup menyakinkan kaum Yahudi non-Zionis untuk berpindah.  Karena itu, para pemimpin Zionis memutuskan menggunakan cara yang dirintis Herzl lebih kerap lagi.  Mereka harus membuat kaum Yahudi, terutama kaum elitnya, merasa kian tak nyaman demi mendirikan negara Israel.  Dengan kata lain, anti-Semitisme harus tumbuh lebih kuat.

Persaudaraan Ideologis antara Nazisme dan Zionisme

Konsep Herzl tentang pembentukan sebuah persekutuan dengan kaum anti-Semit untuk menghentikan, dan lalu membalikkan, proses pembauran kaum Yahudi dipraktikkan oleh para Zionis penerusnya, bersama dengan kaum rasis di Eropa dan di seluruh dunia.  Yang terutama adalah kaum  rasis Jerman.  Kaum rasis Jerman ini, yang merupakan perintis gerakan Nazi, jenis sekutu yang tepat dicari-cari para Zionis.  Nyatanya, persamaan ideologis di antara keduanya cukup menyolok.
Lenni Brenner, yang menyebut diri seorang Yahudi non-Zionis, mengungkapkan sejarah terselubung persekutuan antara Zionis dan anti-Semit dalam bukunya Zionism in The Age of Dictator (Zionisme di Zaman Para Diktator).  Sebagaimana ditekankan Brenner, ikatan antara kaum Zionis dan kaum rasis anti-Semit ditempa pada tahun-tahun awal pergerakan Zionis.

Misalnya, Max Nordau, penerus Herzl sebagai pemimpin gerakan Zionis, memberikan wawancara kepada seorang anti-Semit tersohor, Edouard Drumont, pada 21 Desember 1903.  Percakapan di antara keduanya, yang satu seorang rasis Yahudi, yang lain seorang sofinis (penganut paham nasionalisme sempit) Perancis, diterbitkan dalam suratkabar anti-Semit fanatik milik Drumont, La Libre Parol, termasuk pernyataan Nordau bahwa Zionisme “bukan masalah agama, namun sepenuhnya masalah ras, dan tak seorang pun dengan siapa saya lebih sependapat dalam masalah ini selain Tuan Drumont.”

Satu bahasan penting dalam buku Brenner adalah kesamaan ideologis antara rasis Jerman dan Zionis.  Pemujaan berlebihan terhadap darah-dan-tanah yang sedang cepat menyebar di kalangan cendekiawan Jerman mutlak sejalan dengan pemikiran Zionis.  Menurut ideologi ini, ras Jerman memiliki darah (Blut) sendiri, dan harus hidup di tanahnya (Boden) sendiri.  Kaum Yahudi tidak berdarah Jerman, dan karena itu tidak akan pernah menjadi bagian rakyat (Volk) Jerman maupun berhak menetap di tanah Jerman.  Seperti ditekankan oleh Brenner, pengikut Zionis sukarela mendukung semua pendapat Blut und Boden-nya kaum rasis.  Dalam pandangan kaum Zonis, kaum Yahudi bukanlah bagian Volk Jerman dan, pastilah, kaum Yahudi dan Jerman seharusnya tidak bercampur dalam perkawinan.  Yang terbaik bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Bodennya sendiri: Palestina.
Tak diragukan bahwa para Zionis menyetujui anti-Semitisme dan menganut teori-teori kaum rasis Jerman itu.  Karena orang Yahudi bukan ras Jerman, bangsa Jerman berhak mengucilkan dan juga mengusir mereka.  Menurut para Zionis, kaum Yahudi sendiri sepatutnya disalahkan dalam soal anti-Semitisme.  Mereka membangkitkan anti-Semitisme dengan bersikukuh tinggal di tanah asing dan berbaur dengan ras asing.  Para Yahudi pembaur yang patut disalahkan, dan bukan para anti-Semit.  Chaim Greenberg, penyunting media Zionis pekerja New York Jewish Frontier, melukiskan watak itu sebagai berikut “Agar menjadi Zionis yang baik, seseorang harus agak menjadi anti-Semit”.12

Seruan bagi perpindahan ke Palestina yang diulang-ulang World Zionist Organization (WZO), hanya dihiraukan oleh segelintir orang Yahudi.  Sebagian besar Yahudi Eropa sudah terlibat proses pembauran dan tidak ingin meninggalkan rumah-rumah nyaman mereka demi petualangan yang tak pasti.  Mereka yang menyambut seruan ini adalah para Yahudi idealis dengan keyakinan agama atau kebangsaan yang kuat.  Di dalam foto di atas, Chaim Weizmann, pemimpin WZO, terlihat bersama sekelompok calon pemukim Yahudi muda dan idealis yang akan berangkat ke Palestina.
Brenner menafsirkan kedudukan para Zionis sebagai berikut: “Jika orang percaya akan keabsahan kemurnian rasial, sukar merasa keberatan pada rasisme orang lain.  Jika orang itu percaya lebih jauh bahwa tak mungkin bagi masyarakat mana pun hidup sehat kecuali di tanah air sendiri, ia tak dapat berkeberatan pada tindakan siapa pun mengeluarkan ‘orang asing’ dari daerahnya.”13
Francis R.  Nicosia, seorang profesor sejarah di St.  Michael’s College (Winooski, Vermont, Amerika Serikat), juga menekankan adanya hubungan ideologis antara Zionisme dan Nazisme dalam bukunya The Third Reich and The Palestine Question (Reich Ketiga dan Masalah Palestina).  Menurut Nicosia, kaum Zionis dekat secara ideologis tak hanya dengan Nazi, melainkan juga dengan para rasis abad ke-19 pendahulunya, termasuk Arthur de Gobineau.  Pada tahun 1902, Die Welt, sebuah suratkabar Zionis yang diterbitkan oleh WZO, mendukung teori Gobineau tentang kemunduran rasial dan hasrat mempertahankan kemurnian rasial dengan mencatat bahwa Gobineau telah menunjuk penuh kekaguman kepada kaum Yahudi sebagai suatu kaum kuat yang percaya perlunya mempertahankan kemurnian ras. 14 
Pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia I, para Zionis yang berpengaruh dengan semangat membela teori filsuf-filsuf rasis seperti Elias Auerbach, Ignaz Zollschan, Arthur de Gobineau, dan Houston Steward Chamberlain.  Profesor Nicosia menekankan juga simpati kaum anti-Semit terhadap Zionisme.  Sangat menarik bahwa para anti-Semit menyokong pemindahan kaum Yahudi Eropa ke Palestina sejak permulaan abad ke-19, sebelum Zionisme politik ada.  Di antara mereka adalah filsuf nasionalis Jerman terkenal dan pelopor fasisme, Johann Gottlieb Fichte.  Fichte, seorang penyokong pengusiran kaum Yahudi dan kaum minoritas lainnya demi menjaga dan menghormati Volkgeist (semangat kebangsaan) Jerman, menganggap bahwa memberikan persamaan hak kepada kaum Yahudi akan menjadi suatu bencana.  Ia juga menyarankan bahwa masalah Yahudi dapat dipecahkan dengan memindahkan kaum Yahudi dari Jerman (juga negara-negara Eropa lainnya) ke tanah asalnya.15 

Teori-teori Zionis Fichte dianut sepenuhnya oleh penerus-penerus seperti Eugen Dühring.  Simpati kaum anti-Semit pada Zionisme berlanjut di Jerman setelah Perang Dunia I (semasa Republik Weimar, 1919-1933).  Nicosia mengatakan bahwa semasa Weimar, tokoh anti-Semit terkemuka seperti Wilhelm Stapel, Hans Blüher, Max Wundt, dan Johann Peperkorn melihat Zionisme sebagai satu-satunya pemecahan yang wajar atas masalah Yahudi di Jerman.

Perselingkuhan Para Zionis dengan Nazisme

Saat pertama mendengar pernyataan kami tentang kaitan antara Zionisme (yang sering digambarkan sebagai nasionalisme Yahudi) dan rasisme Jerman (yang mengandung kebencian anti-Yahudi), orang mungkin akan beranggapan bahwa pertalian seperti itu suatu pertentangan.  Akan tetapi, dengan penjelasan beberapa halaman terdahulu, ada suatu kemiripan yang benar-benar masuk akal di antara keduanya.  Pada tahun 1925, Jacob Klatzkin, seorang ahli teori gerakan Zionis, memaparkan segenap akibat pendekatan Zionis pada anti-Semitisme.16

Jika kita tidak mengakui kebenaran anti-Semitisme, kita menyangkal kebenaran nasionalisme kita sendiri.  Jika kaum kita berhak dan rela berada di dalam kehidupan nasionalnya sendiri, maka kaum kita adalah sebuah benda asing yang menusuk ke dalam bangsa-bangsa di antara siapa kaum kita tinggal, suatu benda asing yang menuntut jatidiri tersendiri, mengurangi ruang hidup bangsa-bangsa itu.  Oleh karena itu, benarlah jika mereka mesti melawan kita demi kesatuan nasional mereka...  Daripada membina masyarakat demi melawan para anti-Semit, yang ingin mengurangi hak-hak kita, kita mesti membina masyarakat demi melawan para sahabat kita (yakni, para Yahudi pembaur) yang ingin membela hak-hak kita.

Empati kaum Zionis pada anti-Semitisme cukup luas dalam WZO, inti gerakan kaum Zionis.  Chaim Weizmann, pemimpin legendaris WZO kedua setelah Herzl, dan lalu presiden pertama Israel, kerap menyatakan pemahamannya akan anti-Semitisme.  Sebagaimana ditulis Brenner:

Semenjak 18 Maret 1912, ia telah tanpa malu-malu berkata kepada penduduk Berlin bahwa “setiap negara hanya dapat menyerap sejumlah terbatas kaum Yahudi, jika tak ingin perutnya sakit.  Jerman telah memiliki terlalu banyak kaum Yahudi”.  Dalam percakapannya dengan Balfour [menteri luar negeri Inggris] di tahun 1914, ia meneruskan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa “kami juga bersepakat dengan para anti-Semit budaya, sejauh kami percaya bahwa orang-orang Jerman yang beragama Musa itu sebuah gejala yang tak diinginkan dan mematahkan semangat.”17
Chaim Weizmann, pemimpin Organisasi Zionis Dunia, dan Lord Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris

Watak WZO itu juga dimiliki cabangnya di Jerman, Zionistiche Vereinigung für Deutchland (ZVfD, Federasi Zionis Jerman).  ZVfD adalah satu dari dua organisasi Yahudi utama pada masa itu.  Sedangkan Centralverein (CV, Persatuan Pusat Warga Jerman Beragama Yahudi) adalah organisasi utama Yahudi pendukung pembauran.Secara alamiah, ZVfD dan CV tidak bersepakat dalam aneka persoalan.  Misalnya, satu pihak sangat yakin bahwa menjadi seorang Yahudi itu masalah ras, sementara yang lain menganggap kaum Yahudi hanya masyarakat agama.  Tentu saja, bidang utama pertengkaran adalah anti-Semitisme.  Bagi para pembaur di CV, anti-Semitisme itu ancaman utama.  Mereka melakukan semua yang mereka mampu untuk membasmi virus yang mengancam kehidupan tenteram mereka ini.  Sebaliknya, para Zionis, yang menganggap pembauran virus yang sebenarnya, amat senang dengan anti-Semitisme.  Brenner menulis bahwa Kurt Blumenfeld, ketua dan mantan sekretaris jenderal ZVfD, sungguh-sungguh percaya pada pernyataan kaum anti-Semit bahwa negara Jerman milik ras Arya dan bahwa bagi seorang Yahudi untuk berjabatan di pemerintahan di tanah kelahirannya ini tak lebih daripada campur tangan dalam urusan Volk (bangsa) lain.18

Sejak awal tahun 1920-an, anti-Semitisme Jerman dijelmakan oleh kaum Nazi, yang telah menjadi sebuah kekuatan di seluruh Jerman.  Pada tahun 1923, Hitler telah mendapat suatu dukungan yang cukup besar dari kalangan rasialis dan nasionalis Jerman yang lebih keras dan siap, termasuk banyak orang, di antaranya Hitler sendiri, yang telah ditempa dalam pertempuran-pertempuran berat Perang Dunia I.  Mereka itu, yang ditata untuk perang jalanan ke dalam SA (SturmAbteilung, Pasukan Badai), terbukti menjadi kekuatan yang mampu melawan milisi-milisi musuh Nazi (kaum komunis, sosialis, liberal dll) sementara jalinan Republik Weimar mulai koyak.

Perselingkuhan di antara kedua pihak bermula pada saat gerakan Nazi muncul.  Kaum Zionis terus-menerus memberi perhatian kepada kaum Nazi, tak kurang daripada kepada para anti-Semit lainnya.  Hitler juga mengirimkan pesan terukur kepada pihak Zionis.  Sebagaimana ditekankan Nicosia, pidato-pidato Hitler di awal tahun 1920 menyatakan bahwa satu-satunya pemecahan yang mungkin bagi masalah Yahudi adalah pendepakan semua orang Yahudi dari Jerman.  Gagasan-gagasan Hitler agak berbeda dari pemikiran-pemikiran para anti-Semit yang abai dan kasar yang hanya tahu bagaimana menyelenggarakan pogrom.  Pada tanggal 6 April di Munich, Hitler menyatakan lagi bahwa Nazi harus memusatkan upayanya pada pengusiran sepenuhnya kaum Yahudi dari Jerman  daripada menanamkan suasana pogrom terhadap masyarakat Yahudi.  Lebih lagi, ia berpendapat bahwa segala cara demi tujuan ini dapat dibenarkan “bahkan jika kita harus bekerjasama dengan Iblis”, sebuah rujukan kepada kaum Zionis.  Pada tanggal 29 April, Hitler menyimpulkan ”Kita akan terus berjuang hingga orang Yahudi terakhir dikeluarkan dari Reich Jerman”.  Dalam surat tanggal 16 September 1919-nya yang terkenal, Hitler menulis:19

Anti-Semitisme, yang murni berdasarkan pada emosi, akan selalu menjelma berbentuk pogrom.  Akan tetapi, suatu anti-Semitisme rasional harus mengarah ke perjuangan resmi yang terencana baik untuk melawan dan melenyapkan hak-hak khusus kaum Yahudi yang mereka, tidak seperti orang asing lainnya yang hidup di tengah-tengah kita, miliki.  Tujuan gerakan harus semata-mata mengenyahkan semua orang Yahudi.20

Pengusiran kaum Yahudi dari Jerman yang dianjurkan Hitler juga didukung oleh Alfred Rosenberg, ideolog Nazi terkemuka.  Rosenberg menjadi penyeru utama bagi persekongkolan dengan para Zionis guna mencapai tujuan-tujuan Nazi.  Dalam buku Die Spur des Juden im Wandel der Zeiten (Jejak Kaum Yahudi Sepanjang Masa) yang ditulis tahun 1919 dan diterbitkan tahun 1920, Rosenberg menyimpulkan “Zionisme harus didukung sepenuh hati untuk mendorong sejumlah besar orang Yahudi Jerman pergi ke Palestina atau tujuan lainnya.” 21 Sebagaimana dijelaskan Nicosia, pendapat Rosenberg bahwa gerakan Zionis dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemisahan kaum Yahudi di Jerman secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maupun pemindahan mereka, pada akhirnya diwujudkan menjadi kebijakan oleh rejim Hitler.22

Tahun 1933 gerakan Nazi, yang diilhami oleh rasialisme dan anti-Semitisme Jerman, meraih kekuasaan dengan memanfaatkan faktor-faktor seperti depresi ekonomi yang berawal di tahun 1929, kelemahan Republik Weimar, dan penderitaan sosial dan politik rakyat Jerman.  Kemenangan Nazi menggembirakan kaum Zionis tidak kurang daripada seakan mereka sendiri yang meraih kekuasaan.

Tahun-tahun Awal Nazi dan Zionis

Ketika Nazi meraih kekuasaan, kaum Yahudi Jerman membentuk 0,9 persen populasi Jerman.  Walau demikian, kekuatan ekonomi mereka cukup besar.  Kebanyakan kaum Yahudi bertaraf hidup tinggi; 60 persen mereka adalah pengusaha atau pekerja profesional.  Walau sedikit jumlahnya, mereka minoritas terpenting di Jerman.  Memurnikan ras bangsa Jerman dengan mengenyahkan kaum Yahudi adalah salah satu tujuan utama Nazi.  Menjaga ras tetap murni juga mensyaratkan bahwa kaum Yahudi dikucilkan sambil didesak keluar dari Jerman.Itulah juga impian para Zionis, dan mengapa, di hari-hari saat gerakan Nazi hampir merebut kekuasaan, hubungan-hubungan menarik berkembang di antara kedua pihak.  Salah satu hubungan terpenting tumbuh antara Kurt Tuchler, seorang anggota pengurus ZVfD, dan Baron Leopold Itz Edler von Mildenstein dari SS.

Pada awal 1920, ideolog Nazi Alfred Rosenberg telah menyebutkan pentingnya bekerja sama dengan Zionis radikal untuk mendeportasi orang-orang Yahudi dari Jerman.
Tuchler membujuk Mildenstein agar menulis sebuah artikel pro-Zionis untuk penerbitan Nazi.  Sang baron setuju, dengan syarat bahwa ia berkunjung ke Palestina terlebih dahulu, dan dua bulan setelah Hitler berkuasa, kedua orang beserta istri-istri mereka pergi ke Palestina.  Von Mildenstein tinggal di sana selama enam bulan sebelum kembali untuk menulis artikelnya. 23  Ada kontak-kontak resmi antara kaum Zionis dan Nazi sejak awal pemerintahan Nazi.  Di bulan Maret 1933, Hermann Göring mengumpulkan para pemimpin organisasi-organisasi Yahudi utama.  Salah satu bukti terpenting pandangan pihak Zionis tentang Nazi pada saat itu adalah sepucuk memorandum yang dikirimkan kepada Partai Nazi oleh ZVfD pada tanggal 21 Juni 1933.  Dokumen ini, yang tak disiarkan sampai tahun 1962, adalah sebuah permintaan terbuka untuk bersekongkol dengan Partai Nazi.  Beberapa potongan menarik dari memorandum panjang itu:
...Di atas landasan sebuah negara baru, yang telah menegakkan prinsip ras, kami inginkan demikian demi memasukkan masyarakat kami ke dalam keseluruhan bangunan negara, sehingga di pihak kami juga, di ruang yang ditetapkan bagi kami, dimungkinkan kegiatan yang bermanfaat bagi Tanah Air... Pengakuan kami atas nasionalisme Yahudi memberikan suatu hubungan jernih dan tulus dengan rakyat Jerman beserta kenyataan nasional dan rasialnya ...kami juga menentang perkawinan campuran dan mendukung pengawasan kemurnian kelompok Yahudi...Jadi, orang Yahudi sadar diri yang digambarkan di sini, yang kami wakili, dapat menemukan tempat dalam bangunan negara Jerman...Kami percaya akan kemungkinan sebuah hubungan setia yang tulus antara orang Yahudi yang sadar-kelompok dan negara Jerman... Demi tujuan-tujuan praktisnya, Zionisme berharap mampu menciptakan kerjasama bahkan dengan suatu pemerintahan yang pada dasarnya memusuhi kaum Yahudi...24
Mengenai memorandum ini, Brenner menulis:
“Dokumen ini, sebuah pengkhianatan terhadap kaum Yahudi Jerman, ditulis dalam kata-kata kuno Zionis yang baku...Di dalamnya, kaum Zionis Jerman menawarkan kerjasama terukur antara Zionisme dan Nazisme, disucikan oleh tujuan mendirikan negara Yahudi: Kami tak akan mengobarkan perang terhadapmu (Nazi), melainkan hanya terhadap yang menentangmu (Yahudi non-Zionis)”25

Ideologi Nazi, yang mendikte bahwa Jerman dan Yahudi adalah dua ras yang tidak boleh bercampur dengan satu sama lain, benar-benar dimiliki oleh Zionis rasis. Atas dasar ini didirikan aliansi Zionis-Nazi radikal. Atas: Hitler dengan DS selama menempuh jalan ke kekuasaan.
Rabbi Joachim Prinz, salah seorang pengarang memorandum itu, menjelaskan alasannya bertahun-tahun kemudian.  “...tak satu pun negara di dunia yang mencoba memecahkan masalah Yahudi lebih bersungguh-sungguh daripada Jerman.  Pemecahan masalah Yahudi?  Itulah impian Zionis kami!  Kami tak pernah mengingkari adanya masalah Yahudi!  Pemisahan masyarakat?  Itulah himbauan kami!...”  Sebagaimana ditunjukkan Prinz, yang utama dari kesepakatan Zionis dan Nazi adalah kesungguhan mereka tentang adanya masalah Yahudi.  Kedua pihak menganggap keberadaan kaum Yahudi di Eropa suatu masalah dan berpikir bahwa hidup berdampingan antara kaum Yahudi dan non-Yahudi suatu kemustahilan.  Sebaliknya, para Yahudi pembaur tak sedikit pun mengakui bahwa ada masalah Yahudi.  Bagi para Zionis, inilah pengkhianatan.26 

Karena itu, mereka berusaha mengakhiri perseteruan lewat kekerasan, dan dengan kekuatan membujuk kaum Yahudi yang telah kehilangan kesadaran rasialnya.  Orang Yahudi pembaur di Jerman diserang dengan sengit dalam Jüdische Rundschau, buletin mingguan ZVfD.  Penyuntingnya, Robert Weltsch, menulis di dalam tajuk rencananya:

Di masa-masa genting sepanjang sejarahnya, kaum Yahudi telah menghadapi persoalan akibat kesalahannya sendiri.  Do’a terpenting kita berbunyi: “Kami diusir dari negeri kami karena dosa-dosa kami” ...kaum Yahudi memikul kesalahan besar karena gagal memenuhi seruan Theodor Herzl ...  karena kaum Yahudi tak bangga menunjukkan keyahudiannya, karena mereka ingin menghindari masalah Yahudi, mereka harus turut dipersalahkan atas kemunduran kaum Yahudi.27

Kedudukan Zionis telah terang: para Yahudi pembaur telah berdosa dengan mengabaikan ajakan Zionis, dengan menolak kesadaran rasialnya sendiri; mereka harus mendapat balasan atasnya lewat penindasan oleh sekutu-sekutu kaum Zionis, yakni kaum Nazi.  Artikel-artikel yang muncul dalam Jüdische Rundschau menyerang para Yahudi pembaur dan pada saat yang sama memuji Nazisme.  Di bulan April 1933, Kurt Blumenfeld, sekretaris jendral ZVfD, menulis: “Kita yang hidup di negara ini sebagai ‘ras asing’ harus mutlak menghargai kesadaran dan kepentingan rasial bangsa Jerman”. 28 Joachim Prinz, seorang rabbi Zionis, menjelaskan bahwa kaum Zionis dapat bersepakat dengan kaum Nazi, yang rasis seperti mereka: “Suatu negara yang dibangun di atas prinsip kemurnian bangsa dan ras hanya dapat menghargai orang-orang Yahudi yang memandang diri dengan cara yang sama “.  29
Pihak berwenang dari Federasi Zionis Jerman (ZVfD) pada Kongres Zionis 19. Pria di paling kiri adalah Kurt Blumenfeld, pemimpin ZVfD dan arsitek terkemuka aliansi didirikan dengan Hitler.
Setelah Nazi berkuasa, mereka memberlakukan undang-undang tertentu yang membatasi hak-hak sosial kaum Yahudi.  Malah, kaum Nazi berpikir mereka telah menolong kaum Yahudi dengan menerbitkan undang-undang yang menentang pembauran.

Rundschau mengeluarkan sebuah pernyataan dari AI Berndt, kepala persatuan pers Nazi, yang mengabarkan kepada dunia, yang lebih cenderung yakin daripada terkejut, bahwa undang-undang ini:
...  bermanfaat sekaligus bersifat memperbaiki bagi Yudaisme.  Dengan memberikan kaum minoritas Yahudi suatu kesempatan mengurus hidupnya sendiri dan menjamin dukungan pemerintah atas keberadaan yang merdeka ini,  Jerman sedang membantu Yudaisme memperkuat watak kebangsaannya dan memberikan sumbangan ke arah peningkatan hubungan di antara kedua bangsa.30

Persekutuan Nazi-Zionis didasarkan hanya pada pertimbangan-pertimbangan semacam itu.  Hubungan antara kaum Nazi dan Zionis, yang awalnya sebagai sebuah pameran niat baik, telah berubah menjadi persekongkolan yang paling terkendali dan nyata.  Di sini, pembaca mungkin berpikir bahwa para Zionis mengawali persekongkolan ini karena kurang berhati-hati dan tak mampu memperkirakan betapa fanatik jadinya sikap anti-Yahudi kaum Nazi.  Sesungguhnya, mereka yang berharap mampu menyembunyikan persekutuan Nazi–Zionis ini berupaya meremehkannya menggunakan alur pemikiran itu.  Meski demikian, kenyataannya berbeda.  Para Zionis sangat sadar akan anti-Semitismenya Nazi; malah, mereka ingin sifat itu bertambah.  Setiap undang-undang yang diterbitkan untuk merugikan kaum Yahudi Jerman kian menyenangkan para Zionis.  Brenner menulis:
”Semakin keras Nazi menekan kaum Yahudi, semakin yakin pihak Zionis bahwa sebuah kesepakatan dengan Nazi adalah mungkin.  Lagi pula, mereka beralasan, semakin Nazi mengucilkan Yahudi Jerman dari setiap segi kehidupan di Jerman, semakin pihak Nazi membutuhkan Zionisme untuk membantu mengenyahkan kaum Yahudi.”31

 Asking German Jews to Vote for Hitler
Sejauh ini, telah berkali-kali disebutkan bahwa ada perbedaan menyolok antara orang Yahudi pembaur dan Zionis, sebab Zionis menerima Nazi sebagai sekutu, sementara Yahudi pembaur membenci Nazi.  Perbedaan kebijakan antara ZVfD dan CV terhadap kaum Nazi itu menyolok.  Perpecahan antara para Zionis dan Yahudi pembaur ini terjadi di negara-negara berpenguasa ekstrim kanan lainnya.  Kita akan membahas masalah ini lebih rinci nanti.  Bagaimanapun, saat ini kita dapat menyatakan sebagai sebuah kaidah umum bahwa kaum Zionis berhubungan baik dengan kaum ekstrim kanan dan unsur-unsur fasis, sementara kaum Yahudi pembaur menentang mereka.
Namun, ada beberapa perkecualian tentang kaidah ini.  Sebagian Yahudi pembaur, khususnya di kalangan borjuis yang takut pada ekstrim kiri, berusaha bersekongkol dengan ekstrim kanan.  VNJ (Persatuan Nasional Yahudi Jerman), organisasi Yahudi pembaur terpenting setelah CV, merupakan contoh yang baik.   Di tahun 1934, VNJ memulai kampanye mendukung Hitler.  Harian New York Times mencatat hal ini dengan melaporkan pada 18 Agustus 1934 bahwa VNJ menghimbau setiap orang Yahudi yang merasa diri orang Jerman agar memilih Hitler.32 

Mengalahkan Boikot Anti-Nazi dengan Bantuan Zionis

Tak usah diragukan, VNJ sebuah pengecualian.  Tak dapat dipastikan apakah simpati VNJ pada Nazi benar-benar suara kebanyakan Yahudi pembaur.  Rejim Hitler menyebabkan kekhawatiran yang sangat bagi Yahudi pembaur yang tinggal di negara-negara Barat lain.  Bertolak belakang dengan upaya persekongkolan para Zionis, kaum Yahudi pembaur mencari cara-cara melawan Nazi.  Mereka ingin bertindak efektif, bersama dengan kelompok-kelompok anti-fasis lainnya, antara lain golongan liberal, sosial demokrat, dan komunis, melawan rejim Hitler.

Boikot anti-Nazi bermula ketika Jewish War Veterans (Veteran Perang Yahudi), sebuah organisasi Yahudi pembaur di New York, mengumumkan boikot perdagangan pada tanggal 19 Maret 1933, dan menyelenggarakan pawai protes besar-besaran empat hari kemudian.  Gerakan itu kian membesar, dan pada akhirnya menamakan diri Non-Sectarian Anti-Nazi League (Liga Anti-Nazi Non-Sektarian).  Liga ini menerima dukungan dari golongan kiri, dan menyerukan kepada seluruh rakyat Amerika agar berhenti membeli barang-barang buatan Jerman.  Gerakan boikot menyebar ke Eropa, dan cukup efektif.  Ini bukan berita baik bagi ekonomi Jerman yang baru mulai pulih, di bawah kepemimpinan Hitler, dari depresi yang berawal di tahun 1929.  Karena boikot yang dilakukan para Yahudi pembaur, penjualan barang-barang Jerman anjlok tajam di dua pasar utama: Eropa dan Amerika Serikat.

Secara serentak, para penyelamat yang kuat muncul membantu Hitler mengatasi ancaman genting bagi ekonomi Jerman ini.  Siapakah mereka?  Para Zionis, tentu saja.  Ketika orang-orang Yahudi pembaur bergantian berunjuk rasa menggalakkan suatu boikot yang menghancurkan ekonomi Jerman, para Zionis mengulurkan tangan membantu sekutu ganjil mereka itu.

Segera setelah Nazi berkuasa, demokrasi Barat mulai boikot efektif terhadap Nazi. Terutama di Amerika Serikat, boikot dimulai oleh orang Yahudi asimilatif, kaum kiri dan liberal serius menjatuhkan penjualan barang Nazi dan menyebabkan krisis dalam ekonomi Reich. Radikal Zionis membantu Nazi mengatasi ini memboikot selama masa sulit. Waktu: Sebuah bendera Nazi dibakar selama protes boikot di Chicago.
Nyatanya, kaum Zionis telah memulai upaya-upaya pro-Nazi mereka melawan boikot itu bahkan sebelum unjuk rasa pertama, menentangnya bahkan sejak tahap perencanaan.  Tokoh Yahudi utama penentang boikot di Amerika adalah Rabbi Stephen Wise, pemimpin terpenting gerakan Zionis di Amerika Serikat dan sahabat karib Presiden Franklin D.  Roosevelt.  Wise adalah pemimpin American Jewish Congress (Kongres Yahudi Amerika), sebuah cabang WZO.  Tentang upaya anti-boikotnya ini, Wise menulis kepada seorang teman Zionisnya:  ”Engkau tak bisa membayangkan apa yang sedang kulakukan untuk melawan massa (pendukung boikot).  Mereka menginginkan aksi jalanan besar-besaran”.  WZO juga mencoba sejak awal mencegah boikot.  Ketika upayanya gagal, WZO berusaha meringankan masalah-masalah keuangan Jerman.  Brenner menulis:”[WZO] tak hanya membeli barang-barang Jerman; namun, juga menjualkannya, dan bahkan mencari pelanggan-pelanggan baru bagi Hitler dan para industrialis pendukungnya”.33

Alasan di balik perilaku itu adalah karena WZO memandang kemenangan Hitler sama seperti sejawat Jermannya, ZVfD.  Hitler itu ibarat garu perontok untuk mengusir para Yahudi yang bersikeras tidak pulang ke tanah airnya.  Seorang yang baru saja menjadi penganut Zionisme, kemudian penulis biografi tersohor dunia, Emil Ludwig, mengungkapkan sikap umum gerakan Zionis:  “Hitler akan dilupakan dalam beberapa tahun, namun ia akan mendapat sebuah tugu peringatan yang megah di Palestina...  Ribuan orang yang tampak sudah meninggalkan Yudaisme telah dibuat tobat berlipat ganda oleh Hitler, dan karena itu, saya amat berterima kasih kepadanya.”

Seorang Zionis terkenal lainnya, Chaim Nachman Bialik, berkata:”Hitlerisme mungkin telah menyelamatkan kaum Yahudi Jerman yang telah membaur menuju kepunahan...  begitu pun saya, seperti Hitler, percaya pada gagasan tentang kekuatan darah bangsa”.  Seorang Yahudi Italia anggota WZO, Enzo Sereni, berbicara senada: ”Anti-Semitismenya Hitler mungkin akan membawa ke arah penyelamatan kaum Yahudi”.  Pada kongres WZO di Luceme, Swis, Sereni menyatakan: ”Kita tak mesti malu atas kenyataan bahwa kita memanfaatkan penganiayaan kaum Yahudi di Jerman demi pembangunan Palestina.  Itulah bagaimana orang-orang bijak dan para pemimpin terdahulu mengajari kita ...  untuk menggunakan petaka atas kaum Yahudi di Diaspora bagi pembangunan [Palestina].“  Pihak Zionis amatlah gembira dengan pemecahan yang ditawarkan Nazisme sehingga merencanakan melakukannya juga di negara-negara lain, demi merayu kaum Yahudi pembaur bahwa kebijakan-kebijakan mereka telah gagal, dan bahwa satu-satunya harapan bagi kaum Yahudi adalah pulang ke Palestina.

Seorang rabbi Amerika, Abraham Jacobson, memprotes pemikiran gila ini di tahun 1936:  “Berapa kali kita telah mendengar tentang harapan sesat yang dengan putus asa diutarakan terhadap ketaksukaan kaum Yahudi Amerika pada Zionisme, agar seorang Hitler diturunkan kepada mereka?  Lalu, mereka baru akan menyadari perlunya Palestina!”.

Kedekatan yang telah diuraikan di atas, baik secara terbuka maupun terselubung, antara kaum Nazi dan Zionis, membuat kerjasama ekonomi mereka bukan hanya mungkin, melainkan wajar.  Kesepakatan  ekonomi terpenting antara kaum Nazi dan Zionis adalah sebuah perjanjian, disebut Ha’avara (“pemindahan”) dalam bahasa Ibrani, yang mengizinkan Yahudi Jerman mengapalkan tiga juta Reichmark harta kaum Yahudi ke Paletina berbentuk barang-barang ekspor Jerman.  (Brenner, h.  64)  Perjanjian itu memungkinkan Jerman memasarkan barangnya kepada kaum Yahudi di Palestina.  Belakangan, kesepakatan ini diperluas, dan akhirnya, kaum Zionis mengekspor jeruk ke Belgia dan Belanda menggunakan kapal-kapal Jerman.  Pada tahun 1936, WZO menjual barang-barang Jerman di Inggris.

Para Zionis bahkan bertindak lebih jauh untuk Nazi.  Mereka memasok sumber-sumber valas (valuta asing) kepada para produsen senjata Jerman.  Albert Norden dalam bukunya So Warden Kriege Gemacht (Bagaimana Perang Dimulai), melukiskan perjanjian dagang Nazi–Zionis lainnya.  Norden menulis bahwa bahan-bahan baku strategis bagi negara Jerman dipasok melalui sebuah perusahaan bernama Internatioal Nickel Trust (INT), yang pemiliknya para Zionis.  Perusahaan itu menguasai 85 persen nikel yang dihasilkan negara-negara kapitalis.  Setahun setelah Hitler berkuasa, sebuah perjanjian ditandatangani antara INT dan perusahaan amanat (trust) Jerman IG Farben.  Dengan kesepakatan itu,  Farben dibolehkan mengimpor lebih dari setengah kebutuhan nikel Jerman dengan 50 persen potongan valasnya.

Para Zionis Penyokong Dana Hitler

Seorang peneliti Amerika, Eustace Mullins, memberikan sejumlah keterangan berharga tentang kaitan antara Hitler dan para Yahudi penyokong dananya sebelum dan selama perang dalam bukunya The World Order: Our Secret Rulers (Tatanan Dunia: Para Penguasa Rahasia Kita).  Mullins menulis:
Untuk memikat Hitler memasuki Perang Dunia II, penting memberinya jaminan pasokan yang cukup akan kebutuhan-kebutuhan seperti roda kelahar (bearings) dan minyak.  [Seorang Yahudi] Jacob Wallenber dari Swedish Enskilda Bank, yang mengendalikan pabrik raksasa roda kelahar SKF, memasok barang itu kepada Nazi selama perang.

Mullins juga menerangkan bahwa Standard Oil, yang dikendalikan oleh keluarga Rockefeller, mengisi bahan bakar kapal-kapal perang dan selam Nazi di stasiun-stasiun pengisian di Spanyol dan Amerika Latin.  Beberapa saat sebelum pecahnya Perang Dunia II, Standard Oil mengapalkan 500 ton timbal etil kepada Kementerian Udara Reich melalui IG Farben, yang pemilik sebenarnya adalah dinasti Yahudi Warburg, dengan pembayaran yang dijamin oleh surat Brown Bros Harriman bertanggal 21 September 1938.

Mullins menjelaskan lebih jauh kedekatan rahasia Hitler.  Misalnya, tokoh lain yang turut berperan penting mendanai Hitler adalah Clarence Dillon (1882-1979).  Dillon, anak Samuel dan Bertha Lapowski (atau Lapowitz), adalah tangan kanan pemodal Yahudi terkenal Bernard Baruch.  Perusahaan Dillon berperan penting mempersenjatai Hitler menjelang Perang Dunia II.  Mullins juga mengemukakan bahwa penyokong Hitler lainnya adalah Sir Henry Deterding dari Royal Dutch Shell, yang didirikan oleh keluarga Yahudi tekenal, Samuel.  Pada Mei 1933, Alfred Rosenberg adalah tamu di tanah rumah tinggal Deterding yang luas, satu mil dari Puri Windsor, Inggris.  Setelah pertemuan rahasia itu, Deterding dan para pendukungnya, yaitu keluarga Samuel, memberikan Hitler 30 juta pound.  Fakta-fakta ini menunjukkan kaitan erat antara kaum Nazi dan Yahudi, atau lebih tepatnya, para pemodal Yahudi penganut Zionisme.  Para pemodal Yahudi ini membiayai Jerman di bawah Hitler.
Makna Sejati dari Salam Hitler: Jutaan orang Behind Me. Para kaki tangan dari Guiding-Mengelola Kelas.
Pendeknya, Nazi Jerman memperoleh dukungan keuangan yang penting dari para pemodal Zionis lewat bantuan WZO dan cabangnya di Jerman, ZVfD.  Hubungan antara kaum Nazi dan Zionis berperan penting dalam mengatasi boikot anti-Nazi dan meloloskan Jerman memasuki perang sebagai raksasa industri.

Ketika Pemerintah Inggris memutuskan mendukung boikot anti-Nazi, Blackshirt, suratkabar terbitan British Union of Fascist (Persatuan Fasis Inggris) pimpinan Sir Oswald Mosley, menulis:
Dapatkah Anda percayai itu!  Kita telah memotong hidung kita untuk menyakiti muka sendiri dan menolak berdagang dengan Jerman demi membela kaum miskin Yahudi.  Sementara itu, kaum Yahudi sendiri, di negaranya sendiri, terus membuat perjanjian dengan Jerman yang menguntungkan untuk dirinya.  Kaum fasis tak bisa menghadapi propaganda jahat untuk menghancurkan hubungan akrab dengan Jerman lebih baik daripada dengan memanfaatkan fakta ini.

Kesepakatan yang paling menguntungkan bagi Nazi Jerman adalah perjanjian pemindahan, yang ditandatangani untuk memukimkan Yahudi Jerman di Palestina.  Perjanjian itu mungkin dianggap sebagai hasil terpenting persekutuan antara kaum Zionis dan Nazi.

Kesepakatan Nazi-Zionis untuk Meningkatkan Perpindahan Yahudi Jerman

Keuntungan utama yang diharapkan Zionis akan diperoleh dari Nazi adalah dorongan Nazi bagi perpindahan Yahudi Jerman ke Palestina.  Di pihaknya, Nazi berkeinginan membersihkan negerinya dari minoritas Yahudi sesegera mungkin.  Jadi, tak lama setelah Hitler berkuasa, suatu kesepakatan ditandatangani yang membolehkan kaum Yahudi Jerman berpindah ke Palestina.  Perjanjian ini, dibuat antara Anglo-Palestine Bank (yang terkait dengan WZO) dan Kementerian Keuangan Jerman, memungkinkan, secara tak langsung, pemindahan orang dan harta Yahudi ke Palestina, serta menciptakan suatu pasar bagi barang-barang industri Jerman di sana.  Seorang cendekiawan dan politikus Irlandia, Conor Cuise O’Brien, menjelaskan rincian perjanjian sebagai berikut:

Pada tanggal 25 Agustus 1933, Eliezer Siegfried Hoofien (1881–1957), manajer umum Anglo-Palestine Bank (kini Bank Leumi L’Yisrael), bersepakat dengan Kementerian Ekonomi Jerman untuk menggunakan harta benda kaum Yahudi (yang jika tidak, akan dibekukan) untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan di Palestina.  Pengaturan ini menjadi dasar rencana resmi pemindahan kaum Yahudi.

Pada tahun 1933, Anglo-Palestine Bank mendirikan perusahaan Trust and Transfer Office Ha’avara Ltd di Tel Aviv.  Sebuah lembaga mitra juga didirikan di Berlin dengan bantuan dua bankir utama Yahudi, Max Warburg dari MM Warburg di Hamburg dan Dr.  Siegmund Wassermann dari AE Wassermann di Berlin.  Perusahaan di Berlin, dikenal dengan Palästina Treuhandstelle zur Beratung Deutscher Juden (“Paltreu”), mengambil tanggung jawab merundingkan dengan penguasa Jerman penyelesaian tagihan-tagihan dan kontrak-kontrak eksportir Jerman dengan Yahudi Jerman yang ingin pindah ke Palestina...  Sebagian besar dari 50 ribu orang Yahudi yang meninggalkan Jerman antara tahun 1933 dan 1939 menggunakan jasa Ha’avara.

Lewat kesepakatan Ha’avara atau “pemindahan” ini, kaum Zionis mencapai dua tujuan utamanya: memungkinkan perpindahan kaum Yahudi ke Palestina, dan memulihkan ekonomi Nazi, yang tertinggal akibat boikot.  Barang-barang hasil industri Jerman yang dibeli oleh para Yahudi yang berpindah, lalu dijual di Palestina, dan keuntungan dari transaksi itu menggantikan modal yang harus ditinggalkan kaum Yahudi di Jerman.

WZO tak hanya telah meruntuhkan efektifitas boikot kaum Yahudi, namun juga menjadi penyalur terbesar pabrik-pabrik Nazi di Timur Tengah; bahkan memajukan perdagangan Nazi di Eropa Utara.  Melalui Ha’avara Trust & Transfer Office Ltd, WZO mendapatkan semua hak penjualan atas barang-barang Jerman ke Palestina.  Sejumlah besar barang-barang Jerman akan dibeli dengan uang yang diperoleh dari para pemodal Yahudi-Jerman.  Jadi, WZO juga membuka jalan bagi Nazi ke peluang pasar yang besar di Timur Tengah.  Diperkirakan oleh para cendekiawan pro-Zionis, seperti Conor Cruise O’ Brien dan Edwin Black (orang Yahudi pengarang The Transfer Agrement  atau Perjanjian Pemindahan), setara lebih dari 100 juta dollar (saat itu nilainya jauh lebih besar daripada hari ini) mengalir dari Jerman ke Palestina di bawah Ha’avara dan perjanjian-perjanjian terkait antara 1933 dan 1941.

Kesepakatan antara para pemimpin Zionis dan kaum Nazi, khususnya perjanjian Ha’avara, telah dijelaskan dalam sejumlah buku; Lenni Brenner menceritakan tentang perjanjian ini dalam Zionism in the Age of Dictators.  Kesepakatan pemindahan ini juga disebut dalam sebuah buku yang diterbitkan di Israel oleh Moshe Shonfeld: The Holocaust Victims Accuse: Document and Testimony on Jewish Criminal (Korban Holokaus Menuduh: Dokumen dan Kesaksian atas Penjahat Yahudi), maupun buku Francis Nicosia yang dikutip di mukaThe Third Reich and the Palestine Question, serta buku-buku lainnya.

Arsip rahasia pada Wilhelmstrasse (kementerian luar negeri Jerman) mengungkapkan bahwa sebuah perjanjian telah tercapai antara pemerintahan Hitler dan agen-agen Zionis untuk memudahkan pemindahan kaum Yahudi dari Jerman ke Palestina.  Kutipan berikut, dari dokumen kementerian luar negeri Jerman bertanggal 22 Juni 1937, menyatakan bahwa sebuah negara Yahudi mungkin dihasilkan dari kebijakan-kebijakan Nazi:

“Kedudukan Jerman ini, yang diarahkan sepenuhnya oleh pertimbangan-pertimbangan dalam negeri, dan praktis meningkatkan penyatuan kaum Yahudi di Palestina, serta karena itu memudahkan pembangunan sebuah negara Yahudi, dapat mengantar orang kepada kesimpulan bahwa Jerman menyukai berdirinya sebuah negara Yahudi di Palestina.”  Dokumen yang sama menegaskan bahwa pemindahan kaum Yahudi diatur oleh Hitler, dan bahwa sang diktator Jerman berkepentingan khusus dalam masalah itu.

Kini, fakta-fakta ini masih mengejutkan banyak orang, sebab sejarah resmi telah berupaya amat keras menyembunyikan persekutuan itu.  Kaum Zionis dan Nazi sama-sama ingin merahasiakan persekutuan mereka, bahkan ketika persekongkolan itu sedang puncak-puncaknya, dan akibatnya secara umum hubungan itu berhasil disembunyikan.  Walau demikian, kedua pihak tak dapat mencegah menyebarnya desas-desus.  Dalam bukunya The Lobby: Jewish Political Power in US Foreign Policy (Lobi: Kekuatan Politik Yahudi dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat), penulis Amerika Edward Tivnan menunjukkan bahwa di akhir tahun 1930-an persekutuan rahasia antara kaum Zionis dan Nazi telah menimbulkan desas-desus yang membangkitkan keresahan cukup besar.

Perjanjian pemindahan itu terus berlaku dari 1933 hingga pecah perang di tahun 1939.  Pemindahan kaum Yahudi dari Jerman ke Palestina berakhir pada tahun 1939 bukan karena ketakcocokan kedua pihak, namun karena Jerman sedang berperang dengan Inggris, pemegang mandat di Palestina.  Selama kurun 1933-1939, hampir 60 ribu orang Yahudi Jerman dipindahkan ke Palestina, dalam keadaan-keadaan yang luar biasa.  Di bulan Oktober 1933, Hamburg-South American Shipping Company (sebuah perusahaan pelayaran) memulai layanan langsung ke Haifa, menyediakan di kapal-kapalnya kosher (makanan khas Yahudi) murni, di bawah pengawasan kerabbian Hamburg.  Perjalanan kapal Tel Aviv, yang disebut di awal bab ini, mencakup penghidangan kosher.

Sejarawan Amerika Max Weber menyebut Ha’avara dalam artikelnya Zionism and the Third Reich yang telah dikutip di muka.  Weber menyinggung sebuah laporan yang diterbitkan kementerian dalam negeri Jerman di bulan Desember 1937 yang meringkaskan hasil-hasil Ha’avara:

Tak diragukan lagi bahwa Ha’avara telah memberi sumbangan terpenting pada pembangunan Palestina yang amat pesat sejak 1933.  Kesepakatan itu tak hanya memberikan sumber dana yang terbesar (dari Jerman!), namun juga kelompok pemukim paling terpelajar, dan pada akhirnya membawa ke negara itu mesin-mesin dan hasil-hasil industri yang penting bagi pembangunan.

Seperti ditegaskan Weber, satu-satunya hal yang mengakhiri perjanjian itu adalah Perang Dunia II.  Kalau tidak, tak ada keraguan bahwa proses pemindahan Yahudi yang digalakkan oleh kerjasama Nazi-Zionis akan terus berlanjut, dan seiring dengan waktu, kian cepat.  Hal ini dibuktikan oleh naiknya jumlah Yahudi Jerman yang berpindah ke Palestina di tahun 1938 dan 1939.  Disepakati bahwa 10 ribu Yahudi Jerman akan dipindahkan ke Palestina di bulan Oktober 1939,  namun “pesanan” ini harus dibatalkan karena perang mulai di bulan September.  Perjanjian Ha’avara berlanjut sampai tahun 1941.  Secara keseluruhan, Yahudi Jerman yang dipindahkan ke Palestina sebagai hasil kerjasama Nazi-Zionis membentuk 15 persen penduduk Yahudi di Palestina saat itu.  Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, hasil-hasil ekonomis Ha’avara sangat besar.  Edwin Black melaporkan dalam buku The Transfer Agreement, yang diabdikan khusus bagi Ha’avara, bahwa kesepakatan itu telah menyumbang banyak bagi pendirian negara Israel dengan memicu ledakan ekonomi di Palestina.
Di dalam foto di atas adalah dua orang serdadu Gestapo yang bertanggung jawab atas pemindahan orang-orang Yahudi secara aman ke Palestina.  Keterangan foto ini yang dicakup dalam sebuah buku propaganda Zionis, berjudul Pillar of Fire (Tiang Api), patut  mendapatkan perhatian khusus.
Undang-undang Nuremberg dan ‘Juden Raus!  Auf Nach Palästina’
Sambil meningkatkan perpindahan Yahudi Jerman, kaum Nazi dan Zionis juga meluncurkan program-program untuk meningkatkan kesadaran rasial Yahudi Jerman, lagi-lagi dengan persetujuan kaum Zionis.  Dalam buku Zionism in the Age of Dictators, Brenner kerap menegaskan betapa gembiranya pihak Zionis dengan kebijakan rasis Nazi.  Salah satu contohnya adalah Undang-undang Nuremberg tahun 1935 yang melarang perkawinan antara orang Yahudi dan orang Jerman.
Kebijakan Nazi 'anti-Semit, di permaisuri penuh dengan rencana Zionis radikal, memaksa orang-orang Yahudi Jerman untuk pindah dari negara itu. Perjanjian Transfer ditandatangani antara Zionis rasis dan Nazi menjamin bahwa Yahudi meninggalkan negara itu akan dialihkan ke Palestina, tidak lain "salah alamat." Atas: Orang-orang Yahudi berharap untuk beremigrasi ke Palestina, di depan kantor imigrasi hukum di Jerman pada tahun 1939.
Undang-undang Nuremberg, yang diumumkan bulan September 1935, ditujukan untuk mengucilkan kaum Yahudi dari kehidupan sosial bangsa Jerman.  Dengan aturan baru yang disebut “Peraturan bagi Perlindungan Darah dan Kehormatan Jerman,” kaum Yahudi dicabut kewarganegaraannya dan menjadi sampah masyarakat.  Kaum Yahudi dilarang menjadi pegawai negeri, termasuk mengajar di sekolah, dilarang menulis untuk majalah, dan dilarang bekerja di radio, panggung pertunjukan, maupun film.  Perkawinan, dan semua perikatan seksual antara orang Yahudi dan orang Jerman dilarang.  Kaum Yahudi tidak diizinkan mengibarkan bendera Jerman.  Semua tindakan ini lahir dari konsep bahwa kaum Yahudi tak akan pernah menjadi orang Jerman.  Inilah kepercayaan yang sama-sama dipegang oleh Nazi dan Zionis.

Brenner mengutip satu ulasan menarik oleh kepala penyunting Kantor Berita Jerman, Alfred Berndt, yang mengenang bahwa, hanya dua pekan sebelumnya, semua pembicara pada Kongres Zionis Dunia di Lucerne telah mengulang lagi bahwa kaum Yahudi di seluruh dunia sudah benar dipandang sebagai satu masyarakat terpisah sendiri, di mana pun mereka berada.  “Jadi,” ia menjelaskan, “semua yang telah dilakukan Hitler adalah untuk memenuhi permintaan Kongres Zionis Internasional dengan membuat kaum Yahudi yang tinggal di Jerman bangsa minoritas.”  Brenner juga mengatakan bahwa hanya dua jenis bendera yang diperbolehkan di wilayah kekuasaan Reich Ketiga, yaitu bendera swastika Nazi dan biru-putih Zionis.  Narasumber Brenner tak lain adalah pemimpin Zionis Amerika Rabbi Stephen Wise: ”Bagaimana pun, tekad membersihkan tubuh bangsa Jerman dari unsur Yahudi, membawa Hitlerisme menemukan ‘persaudaraan’nya dengan Zionisme, nasionalisme pembebasannya Yahudi.  Karena itu, Zionisme menjadi satu-satunya partai lain yang disahkan di Reich, bendera Zionis satu-satunya bendera lain yang diperbolehkan di tanah Nazi.”

Lenni Brenner menamai kebijakan Nazi itu filo-Zionisme (cinta Zionisme), dan menulis bahwa kesemua itu telah membantu Zionisme di segala segi.  Jadi, Nazi menerapkan beragam undang-undang yang memungkinkan kaum Yahudi menghindari pembauran dan mempertahankan kesadaran rasialnya.  Tahun 1936, Nazi menambahkan bumbu “pulang ke Palestina” baru dengan tindakan mensyaratkan para rabbi menggunakan bahasa Ibrani, bukan bahasa Jerman, dalam kotbah mereka mulai tanggal 6 Desember (hari Hannukah Yahudi) tahun itu, dan setelah itu menggalakkan upaya-upaya yang mensyaratkan kaum Yahudi menggunakan bahasa Ibrani untuk tujuan-tujuan keagamaan dan budaya.
Hukum Nürnberg, benar-benar mengisolasi orang-orang Yahudi dari masyarakat Jerman, intensif mempercayai beberapa Zionis radikal 'kepercayaan dalam Nazi. Atas: Hitler selama salah satu grand menunjukkan kekuatan diselenggarakan di Nürnberg.
Ini bantuan yang cukup besar bagi para Zionis yang sedang berupaya mengumpulkan kaum Yahudi seluruh dunia di Palestina dan memaksa mereka berbahasa Ibrani.  Upaya-upaya Nazi untuk membuat kaum Yahudi sadar rasial tak terbatas pada contoh di atas.  Menurut Brenner, di musim semi 1934, Heinrich Himmler, kepala SS, mendapat sajian laporan tentang masalah Yahudi dari stafnya:  Mayoritas luas kaum Yahudi Jerman masih menganggap diri bangsa Jerman dan bertekad tetap tinggal.  Pemecahan-pemecahan tertentu atas masalah ini telah disarankan.  Sebagaimana ditulis Brenner: ”...  cara mematahkan perlawanan mereka adalah menanamkan jatidiri Yahudi tersendiri di antara mereka dengan secara sistematis memajukan sekolah-sekolah Yahudi, regu atletik, bahasa Ibrani, kesenian dan musik Yahudi, dll.”

Semua ini menunjukkan bahwa Nazi bersimpati pada tujuan Zionis untuk menciptakan sebuah bangsa.  (Umum disadari bahwa kegiatan-kegiatan budaya, seperti pendidikan, seni, musik, dan olahraga berperan penting dalam pembentukan kesadaran ras di benak masyarakat).  Kaum Nazi, yang mengabdikan diri untuk menciptakan suatu bangsa yang sadar ras dan murni ras, bekerja baik bersama rekan-rekan Zionis mereka.

Menurut Brenner, dalam sebuah unjuk rasa menentang Yahudi pada malam 17 Oktober 1938 di Hannover, semboyan “Juden Raus!  Auf Nach Palästina” (Minggatlah Yahudi!  Enyahlah ke Palestina) kali pertama muncul, dan segera menyebar ke seluruh negeri.  Semboyan itu tepat mengungkapkan tujuan bersama kaum Nazi dan Zionis – mengeluarkan semua orang Yahudi dari Jerman dan memindahkannya ke Palestina.

Perselingkuhan Zionis dengan SS

SS (Schutz-Staffel, Pasukan Pertahanan), sebuah badan Partai Nazi yang mengabdi pada Hitler, sering dianggap sebagai kaki tangan Nazi yang paling radikal, fanatik, dan kejam.  SS disusun oleh Heinrich Himmler atas perintah Adolf Hitler, dan juga berfungsi dalam beberapa hal sebagai kumpulan pemikir Nazi.  Buku-buku dan film-film yang berhubungan dengan SS biasanya menggambarkan pasukan SS sedang bertindak keras pada kaum Yahudi, dan menugaskan mereka tanggung jawab amat besar untuk “genosida Yahudi”.  Akan tetapi, kenyataannya agak berbeda.  Lenni Brenner melukiskan hubungan antara SS dan kaum Zionis sebagai berikut:
Goebbels (atas kiri), menteri propaganda Nazi, memiliki artikel Zionis lama pro-radikal dipublikasikan dalam publikasi Nazi bernama Der Angriff dan memiliki medali memukul, bantalan di satu sisi swastika, di sisi lain Bintang David. Heydrich (di atas kanan), kepala Keamanan SS Service, adalah salah satu pro-Nazi Zionis radikal.
Di tahun 1934, SS telah menjadi unsur yang paling pro-Zionis dalam partai Nazi.  Para Nazi lain bahkan menyebut mereka “lembut” pada orang Yahudi.  Baron von Mildenstein telah pulang dari kunjungan enam bulannya ke Palestina sebagai seorang simpatisan Zionis yang bersemangat.  Kini, sebagai kepala urusan Yahudi dari Dinas Keamanan SS, ia mulai mempelajari bahasa Ibrani dan mengumpulkan naskah-naskah bahasa Ibrani; ketika Tuchler mengunjungi kantornya di tahun 1934, rekannya itu disambut dengan untaian lagu rakyat kaum Yahudi yang akrab.  Di dinding terpampang peta-peta yang menunjukkan kekuatan Zionisme yang tumbuh pesat di negeri Jerman.

Mildenstein tak hanya menulis artikel-artikel yang memuji Zionisme, namun juga membujuk Goebbles agar mencetak laporannya sebagai dua belas seri panjang dalam suratkabar Goebbles, Der Angriff (Serangan), sebuah terbitan utama propaganda Nazi.  Laporan itu diturunkan bersambung dari 26 September sampai 9 Oktober 1934.

Dalam tulisan bersambung itu, Mildenstein memuji upaya-upaya Zionis di Palestina.  Kaum Zionis sedang menunjukkan bagaimana menyelesaikan masalah Yahudi.  Menurut Mildenstein, tanah itu telah mengubah kaum Yahudi dalam satu dasawarsa.  Orang-orang Yahudi baru akan membentuk sebuah masyarakat baru.  Untuk mengenang temuan-temuan sang baron, Goebbels mencetak sebuah medali, di satu sisi bergambar swastika, dan di sisi lain bintang Daud.

Di bulan Mei 1935, Reinhard Heydrich, saat itu kepala Dinas Keamanan SS, menulis sebuah artikel yang memuji Zionisme untuk Das Schwarze Korps, suratkabar resmi SS.  Heydrich menganggap bahwasanya ada dua golongan orang Yahudi: Zionis dan pembaur.  Para Zionis memiliki acuan rasial yang ketat, sama seperti Nazi.  Menurut Heydrich, para Yahudi pembaur menghadirkan ancaman – namun sepenuhnya masuk akal untuk bekerjasama dengan para Zionis.  Heydrich menutup artikelnya dengan suatu pujian menggetarkan hati bagi rekan-rekan Yahudinya: “Waktunya tak akan lama ketika Palestina akan kembali mampu menampung anak-anaknya yang telah hilang darinya selama lebih dari seribu tahun.  Doa tulus kami beserta niat baik pemerintah kami akan bersama mereka.”

Zionis Sebagai Agen SS: Senjata SS untuk Para Zionis

Setelah beberapa saat, pertalian erat berkembang antara SS dan organisasi bersenjata Zionis.  Yang terpenting adalah Haganah, sayap militer Jewish Agency di Palestina, yang dikendalikan WZO.  (Sebelum Israel berdiri, Haganah membentuk inti cikal-bakal angkatan bersenjata Israel.  Beberapa pemimpin Israel, seperti Moshe Dayan dan Yitzhak Rabin, pernah bertugas di Haganah).  Di tahun 1937, ada pertemuan rahasia antara Haganah dan SD (Sicherneitsdients), dinas keamanan SS.  Pada tanggal 26 Februari tahun itu, Feivel Polkes, seorang agen Haganah, pergi ke Berlin.

Orang yang ditugaskan oleh Nazi untuk berunding dengan Polkes adalah Adolf Eichmann.  Eichmann telah menjadi anak didik von Mildenstein dan, seperti pembimbingnya, telah belajar bahasa Ibrani, membaca tulisan Herzl, dan menjadi spesialis Zionisme di SD.  Pembicaraan Eichmann-Polkes direkam dalam sebuah laporan yang disiapkan oleh atasan Eichmann, Franz Six, yang ditemukan dalam arsip SS yang disita tentara Amerika di akhir Perang Dunia II.  Arsip-arsip itu mengungkapkan bahwa Polkes menyatakan bahwa kaum Zionis dapat menemukan sumber-sumber baru minyak bumi bagi Reich Jerman; sebagai balasannya, mereka meminta agar pemindahan kaum Yahudi dari Jerman ke Palestina jauh ditingkatkan.  Six menyukai apa yang harus disampaikan Polkes, dan menyatakan bahwa sebuah persekutuan kerja dengan kaum Zionis akan menjadi kepentingan Nazi:

Tekanan dapat dilakukan pada Perwakilan Yahudi Reich di Jerman dengan suatu cara sehingga orang-orang Yahudi yang pindah dari Jerman hanya pergi ke Palestina, tidak ke negara-negara lain.  Tindakan-tindakan itu sepenuhnya menjadi kepentingan Jerman dan telah disiapkan lewat tindakan-tindakan Gestapo.  Pada saat yang sama, rencana-rencana Polkes menciptakan suatu mayoritas Yahudi di Palestina akan dibantu lewat tindakan-tindakan itu.

Kontak-kontak yang dibuat Polkes di Berlin ditindaklanjuti di tahun yang sama.  Pada 2 Oktober 1937, kapal penumpang Romania tiba di Haifa dengan dua wartawan Jerman di atasnya.  Para “wartawan” itu sebenarnya dua orang anggota kawakan dinas keamanan SS: Herbert Hagen dan Adolf Eichmann.  Mereka bertemu dengan agen Jerman, Reichert, dan Feivel Polkes, yang membawa mereka mengunjungi sebuah kibbutz (lahan pertanian bersama yang dibangun kaum Zionis selama bermukim di Palestina).  Eichmann terkesan dengan apa yang dilihatnya.  Bertahun-tahun kemudian, ketika berada di Argentina, Eichmann merekam kenang-kenangannya ke kaset:

Saya sudah cukup melihat sehingga amat terkesan dengan cara para pemukim Yahudi membangun tanah mereka.  Saya mengagumi keinginan kuat mereka untuk hidup, terlebih lagi karena saya sendiri seorang idealis.  Di tahun-tahun berikutnya, saya sering mengatakan kepada orang-orang Yahudi dengan siapa saya berurusan bahwa, jika saja saya seorang Yahudi, saya akan menjadi seorang Zionis fanatik.  Saya tak bisa membayangkan menjadi yang selain itu.  Nyatanya, saya mungkin akan menjadi Zionis paling berapi-api yang dapat dibayangkan.

Di pihaknya, Polkes membuat beberapa ulasan menarik selama pertemuannya dengan SS.  Ia mengatakan “Di kalangan nasionalis Yahudi, orang-orang sangat senang dengan kebijakan Jerman yang radikal, karena...  di masa dekat, kaum Yahudi dapat bergantung pada keunggulan jumlah atas bangsa Arab di Palestina”.  Polkes juga kembali menawarkan jasa Haganah memata-matai untuk Nazi.  Lebih jauh, seperti ditulis Brenner, Polkes menunjukkan itikad baik Zionis dengan memberikan dua potong informasi intelijen kepada Eichmann dan Hagen tentang kegiatan kaum komunis di Jerman dan hubungan kaum komunis dengan pertemuan Pan-Islamic World Congress (Kongres Dunia Persatuan Islam) pada saat itu di Jerman.

Hubungan erat antara SS dan Zionis tanpa diragukan lagi disetujui di tingkat tertingginya, yakni, Führer sendiri.  Di awal tahun 1938, Otto von Bolschwingh, seorang perantara antara kaum Nazi dan Zionis selama bertahun-tahun, membawa sebuah kabar gembira: Führer telah memutuskan bahwa seluruh penghalang yang merintangi perpindahan Yahudi ke Palestina akan dihilangkan.  Sementara itu, Mufti Yerusalem, seorang musuh bebuyutan Zionis, yang sebelumnya telah melakukan pendekatan kepada Nazi, ditolak.  Mufti itu telah membayangkan bahwa ia dapat membuat suatu persekutuan dengan kaum Nazi berdasarkan pada kesamaan anti-Semitisme mereka.  Selagi ia mencoba mendekati kaum Nazi, kaum Nazi sendiri sedang sibuk mencari cara meningkatkan perpindahan orang Yahudi ke Palestina.  Jadi, hubungan sang mufti dengan Nazi, yang dibesar-besarkan oleh Zionis setelah perang, sejatinya tidak penting.  Mufti itu tidak mendapatkan apa-apa, saat itu atau pun kemudian, dari kerjasamanya baik dengan Roma maupun Berlin.

Kaum Nazi bergerak begitu jauh mendukung Zionis sampai menyediakan senjata bagi militan Zionis untuk melawan orang-orang Palestina.  Nicosia menunjukkan (dalam The Third Reich and The Palestine Question) bahwa SS memasok senjata kepada Haganah, sayap militer WZO di Palestina, untuk digunakan melawan orang Arab.  Nicosia juga menulis bahwa SS dan Mossad le-Aliyah Bet mencapai kesepakatan dalam menyelenggarakan pemindahan kaum Yahudi secara menyelundup ke Palestina, melebihi batas yang ditetapkan Inggris.  Dengan kata lain, batas jumlah perpindahan Yahudi (yang dikenakan karena Inggris takut pada kemarahan bangsa Arab) dilanggar melalui kerjasama antara SS dan Zionis.

Kebijakan “Penyaringan Yahudi” Zionisme

Di halaman-halaman sebelum ini, kami telah menegaskan betapa gembiranya kaum Zionis dengan kebijakan-kebijakan anti-Semit kaum Nazi.  Alasannya amat sederhana: semakin menderita kaum Yahudi di Eropa, semakin mudah membujuk mereka agar pindah ke Palestina.  Setelah perang, para Zionis memainkan kartu anti-Semitisme untuk menciptakan kesepakatan umum bahwa satu-satunya jalan menyelamatkan kaum Yahudi adalah membiarkan mereka memiliki negara sendiri.  Tidaklah mengejutkan bahwa negara Israel akan disodorkan sebagai sebuah negara bagi korban-korban penganiayaan, sebuah pengungsian bagi kaum Yahudi yang lari dari cengkeraman keji anti-Semitisme.  Namun, menampilkan Israel sebagai sebuah tempat perlindungan bagi kaum Yahudi teraniaya tak lebih daripada dusta.  Ini mungkin tampak sebuah pernyataan yang tergesa-gesa, namun akan terbukti benar ketika kebijakan seenaknya-sendiri kaum Zionis dalam meningkatkan pemindahan kaum “elit” Yahudi dimengerti.

Singkatnya, “elitisme” ini dapat digambarkan sebagai berikut: meskipun mendukung gelombang anti-Semit yang akan mempengaruhi seluruh Yahudi Eropa, kaum Zionis ingin memindahkan hanya orang-orang Yahudi tertentu ke Palestina.  Para Zionis tak menginginkan kerumunan Yahudi “tak berguna” di Palestina.  Orang Yahudi yang disukai ke Palestina adalah yang akan berharga bagi tanah air Yahudi: misalnya, kaya, terpelajar, pemuda, dan berbulat tekad.  Jelas, para Zionis sangat menentang pemindahan kaum Yahudi yang tak acuh, pasrah, tanpa keahlian, dan di atas segalanya, tua.  Sebuah kebijakan yang disebut “No Nalewki” (Bukan Nalewki) diberlakukan oleh WZO.  Nalewki adalah sebuah ghetto besar di Warsawa, yang umumnya diisi oleh orang-orang Yahudi Polandia yang tak terdidik, terabaikan, tua, dan berpenyakit.  Para pemimpin WZO menyatakan tegas-tegas bahwa mereka tak ingin menciptakan sebuah Nalewki baru di Palestina.  Apa yang akan terjadi dengan Yahudi Nalewki, dan Yahudi lainnya yang “tak memenuhi syarat”?  Mereka akan menderita di bawah kekuasaan Nazi, tentunya dengan bantuan Zionis.  Untuk membujuk orang Yahudi yang disukai agar pindah, para Zionis dapat berpura-pura tak melihat penderitaan golongan Yahudi lainnya, bahkan, mereka mampu berperan menyebabkan penderitaan itu.  Sebagaimana Brenner menulis:

Adalah kebijakan “No Nalewki” – ghetto besar di Warsawa – yang menjauhkan Zionisme dari kaum awam Yahudi, yang kebanyakan bukan Zionis, dan bahkan dari kalangan gerakan Zionis Diaspora.  Mereka tak memiliki keahlian dan sumber daya yang dibutuhkan di Palestina, dan untuk selanjutnya Zionisme tak akan melayani mereka; para calon pemukim akan disaring ketat demi kepentingan Zionisme.  Di Palestina sendiri, WZO memutuskan bahwa para pengangguran harus didorong agar kembali ke negara asal.

Hari-hari teror yang dikenakan kepada orang-orang Yahudi oleh kemenangan Nazi dalam pemilu Maret 1933 telah membuat ribuan Yahudi berkerumun di jalan di luar Kantor Palestina di Berlin, namun masih tiada keinginan mengubah Palestina menjadi sebuah pengungsian yang sebenarnya.  Pemindahan harus berlangsung demi memenuhi kepentingan Zionisme.  Hanya para Zionis muda, sehat, memenuhi syarat, dan bertekad bulat yang diinginkan.  German HaChalutz Pioneers menyatakan pemindahan ke Palestina yang tak dibatasi adalah sebuah “kejahatan Zionis”.

Pemimpin WZO Chaim Weizmann termasuk pembuat kebijakan elitis ini.  Laporannya di Januari 1934 mendaftarkan sejumlah persyaratan baku yang digunakan memilih pendatang ke Palestina yang berpeluang.  Mereka yang berumur lebih dari 30 tahun, tak bermodal, dan tak berkeahlian tidak bisa diserap oleh Palestina.  Nyatanya, kebanyakan Yahudi Jerman tak diinginkan bagi Palestina: mereka terlalu tua, atau pekerjaannya tak berkaitan dengan kebutuhan negara, atau tak menguasai bahasa Ibrani, atau tak bertekad ideologis.  Jadi, relatif hanya segelintir Yahudi “terpilih” dipindahkan ke Palestina, sekalipun kebijakan-kebijakan Nazi berat menimpa semua Yahudi Jerman.

Tahun 1937, Weizmann mengatakan kepada Kongres Zionis bahwa jawabannya bagi pertanyaan apakah mereka dapat membawa enam juta Yahudi ke Palestina adalah tidak.  Ia memaparkan bahwa ia ingin menyelamatkan kaum pemuda, sebab para manula memiliki sedikit sisa umur.  Hanya yang muda akan bertahan; para manula harus menanggung takdirnya, entah mampu atau tidak.
Sudut pandang ini tak pernah berubah di antara kepemimpinan Zionis.  Ketua sebuah panitia Zionis yang dibentuk demi menyelamatkan Yahudi Eropa, Yitzhak Greenbaum, berkomentar pada tahun 1943 bahwa jika ia harus mengambil satu dari dua pilihan – masyarakat Yahudi atau tanah Israel – ia akan memilih menyelamatkan Israel.

Antara 1933 dan 1935, dua pertiga dari seluruh kaum Yahudi Jerman yang melamar surat kepindahan ke Palestina ditolak oleh kaum Zionis, yang mengendalikan penjatahan surat itu.
Singkatnya, pintu ke Palestina ditutup bagi Yahudi Jerman yang tak memenuhi syarat-syarat Zionis.  Para Yahudi ini lalu berusaha pindah ke negara lain untuk lari dari penindasan Nazi yang meningkat.  Mereka mengira dapat selamat dari anti-Semitisme dengan berpindah ke Amerika Serikat atau Inggris.  Namun, sekali lagi  mereka kecewa, karena pihak Zionis telah menutup pintu tak hanya ke Palestina, melainkan juga ke Amerika Serikat, Inggris, dan setiap tempat pengungsian aman lainnya.  Dalam sejarah, ini menjadi salah satu pengkhianatan terbesar atas suatu bangsa oleh para pemimpinnya sendiri.

Zionis Menghalangi Kaum Yahudi Melarikan Diri

Lerni Brenner mengulas dalam Zionism in the Age of Dictators bahwasanya karena gerakan Zionis tak menginginkan kebanyakan kaum Yahudi Jerman di Palestina, mungkin dapat dianggap bahwa para Zionis, setidaknya di Amerika Serikat, berupaya mencari pengungsian lain bagi saudara-saudara mereka, namun hal itu tak terjadi.  Nyatanya, para Zionis tak berbuat apa-apa demi menyelamatkan kaum Yahudi Jerman dari kekejaman Nazi.  Bahkan ketika desas-desus dan laporan-laporan tentang Holokaus telah mencapai puncaknya, kaum Zionis tak mengubah sikapnya.
Di tahun 1938, David Ben Gurion (belakangan menjadi perdana menteri Israel), orang kedua di WZO setelah Weizmann, mengungkapkan pemikiran Zionis dalam sebuah pidato yang diucapkan pada sebuah rapat para pemimpin Zionis Pekerja di Inggris: “Jika saya tahu bahwa mungkin untuk menyelamatkan semua anak-anak di Jerman dengan memindahkan ke Inggris, namun hanya setengah jika memindahkan ke Eretz Yisrael, saya akan mengambil pilihan kedua.”

Rabbi Dov Michael Weissmandel membahas Zionis radikal sebagai;? "Apakah kamu tidak bersalah, saudara-saudara Yahudi kita ... ... Brutal Anda, dan pembunuh, juga, anda, karena bloodedness-dingin keheningan di mana Anda menonton, karena Anda duduk dengan tangan dilipat dan melakukan apa-apa, meskipun Anda dapat menghentikan atau menunda pembunuhan orang Yahudi pada jam yang sangat. Anda, saudara-saudara kita, bani Israel, adalah kamu gila? Apa kau tidak tahu neraka di sekitar kita? Bagi siapa kamu menghemat uang Anda ... Pembunuh?!"

Segi kebijakan Zionis yang paling terkutuk selama Reich Ketiga bukan kegagalan menyelamatkan kaum Yahudi.  Ini, hingga batas tertentu, dapat dijelaskan: misalnya, dapat saja didalihkan bahwa pihak Zionis ingin memusatkan seluruh upaya kaum Yahudi pada Palestina.  Kebusukan sebenarnya adalah bahwa kaum Zionis telah membendung upaya-upaya kaum Yahudi pindah dari Jerman ke negara mana pun di dunia selain Palestina.

Di tahun 1943, seorang Zionis terkemuka maju ke depan untuk menentang penyelamatan Yahudi Jerman: Rabbi Stephen Wise.  Sebagai juru bicara utama bagi Zionisme di Amerika Serikat, Wise melakukan semua yang ia bisa untuk menentang Emergency Committee to Save the Jewish People of Europe (Panitia Darurat Penyelamatan Yahudi Eropa), yang disusun oleh orang-orang Yahudi terkemuka untuk mempropagandakan penyelamatan.  Rabbi Wise juga membela jatah imigrasi Amerika di tahun 1938, dalam sebuah surat yang ditulisnya sebagai pemimpin American Jewish Congress (Kongres Yahudi Amerika).  Wise menyatakan bahwa ia menentang perubahan dalam undang-undaang yang memungkinkan orang Yahudi mengungsi ke Amerika, sebab khawatir pada anti-Semitisme. 

Sama seperti di Amerika Serikat, pintu masuk ke Inggris juga telah ditutup bagi Yahudi Jerman oleh para Zionis.  Kepemimpinan Zionis di Inggris menentang semua upaya di Parlemen untuk memberikan suaka bagi kaum Yahudi – termasuk ditterbitkannya beberapa ratus izin imigrasi ke kepulauan Mauritius!

Tidak sulit memahami mengapa kaum Zionis mencegah kaum Yahudi lari dari cengkeraman kaum Nazi.  Jika saja pintu masuk ke Amerika atau Inggris terbuka bagi kaum Yahudi, banyak dari mereka yang berkeahlian yang dibutuhkan di Palestina malah menuju ke negara-negara itu.  Untuk memastikan perpindahan orang-orang Yahudi bermutu ke Palestina, kaum Zionis menghukum Yahudi Jerman lainnya dengan hidup di bawah penindasan Nazi.

Mussolini adalah sekutu terbesar Hitler. Mereka mempertahankan ideologi yang sama, mengadakan aliansi dalam apa yang disebut "Pakta Baja" dan mendukung satu sama lain selama Perang Dunia II. Memiliki banyak kesamaan, dua fasis mengadopsi kebijakan serupa dukungan terhadap Zionisme radikal, begitu banyak sehingga organisasi militan Zionis Betar dilatih dengan unit fasis Il Duce dikenal sebagai Black Shirts.
Tanpa keraguan, mereka mengkhianati bangsa mereka sendiri.  Seorang rabbi Slowakia, Dov Michael Weissmandel, adalah salah seorang yang mengerti dan mengutuk strategi Zionis itu.  Weissmandel berusaha menyelamatkan kaum Yahudi dari kekuasaan Nazi selama perang, namun upaya-upayanya dihalang-halangi kaum Zionis.  Weissmandel menjadi geram ketika lama setelahnya para Zionis mulai menyebarkan desas-desus holokaus kaum Yahudi.  Dalam sepucuk surat untuk para pemimpin Zionis yang ditulisnya di bulan Juli 1944, si rabbi mengungkapkan kemuakannya:

Mengapa kalian tidak berbuat apa-apa hingga kini?  Siapakah yang bersalah atas kelalaian mengerikan ini?  Apakah kalian tak bersalah, saudara-saudara Yahudiku...?  ...  Kejam, kalian semua, dan juga pembunuh, karena kebisuan berdarah dingin dengan mana kalian menyaksikan, karena kalian duduk berlipat tangan dan tak melakukan apa pun, meskipun kalian dapat menghentikan atau menunda pembunuhan kaum Yahudi jam ini juga.

Kalian, saudara-saudara kami, anak-anak Israel, apakah sudah gila?  Tidakkah kalian tahu neraka di sekeliling kami?  Pembunuh!  Orang Gila!  Siapakah yang memberi derma: kalian yang melontarkan beberapa perak dari rumah kalian yang tenteram, ataukah kami yang berkorban darah di kedalaman neraka?

Naluri Weissmandel sungguh tepat.  Pihak Zionis memang percaya bahwa penting bekerjasama dengan musuh kaum Yahudi, untuk mendukung tekanan yang ditimpakan orang-orang anti-Semit pada kaum Yahudi, demi mendirikan sebuah negara Yahudi.  Mereka sigap membiayai penganiayaan Nazi terhadap saudara Yahudi mereka sendiri.  Terkadang, demi kepastian, para Zionis mencari cara mencapai kebalikannya.  Mereka sangat berkepentingan pada perpindahan para Yahudi bermutu ke Palestina, dan memerlukan Nazi agar bersikap terbaik pada golongan itu.  Satu contoh adalah 7 ribu Yahudi Denmark yang tak dikirim Nazi ke kamp-kamp konsentrasi di tahun 1943.

Kubu-kubu dalam Zionisme, atau ‘Polisi Baik/Polisi Jahat’

Gerakan Zionisme secara umum dikendalikan oleh WZO, yang didirikan pada Kongres Zionis Pertama.  Sejak kematian Herzl di tahun 1904 hingga 1911, David Wolffsohn mengetuai WZO; antara 1911 dan 1920, Otto Warburg adalah ketuanya.  Setelah itu, Chaim Weizmann memimpin WZO sampai tahun 1946 (kecuali kurun 1931 – 1935, Nahum Sokolow menjadi ketua).  David Ben Gurion adalah tangan kanan Weizmann, dan keduanya akhirnya menduduki jabatan presiden dan perdana menteri Israel pada saat berdirinya.

Arah politik WZO adalah sosial demokrat.  Akan tetapi, negara yang memiliki hubungan terdekat dengan para pemimpin WZO selama paruh pertama abad ke-20 adalah Inggris.  (Tentu saja, hubungan antara Nazi dan ZVfD, cabang WZO di Jerman, dirahasiakan).  Suatu kubu pembangkang perlahan-lahan muncul dalam WZO.  Sayap WZO ini condong ke kanan, bertentangan dengan kecenderungan kiri organisasi ini secara umum.  Kubu baru ini, dipimpin seorang Yahudi Rusia bernama Vladmir Jabotinsky, segera dikenal sebagai Zionisme yang Revisionis.
Di tahun 1933, para Revisionis menarik diri dari WZO dan mendirikan organisasi sendiri yang dinamakan New Zionist Organisation (NZO, Organisasi Zionis Baru) sebagai akibat pertentangan yang telah tumbuh sejak pertengahan 1920-an.

Jabotinsky menganjurkan garis keras terhadap Inggris, yang telah menetapkan batas bagi jumlah pendatang Yahudi karena khawatir pada kemarahan bangsa Arab.  Ideologi Jabotinsky lebih keras dan radikal daripada WZO.  Bahkan kadang-kadang ia dirujuk sebagai “Vladimir Hitler” karena pandangan ekstrim kanannya.  Ia meringkaskan ideologinya sebagai berikut: humanisme dungu tak akan berdampak pada kesantunan masa kini; kekuasaan adalah satu-satunya hal yang dapat mempengaruhi politik dunia.  Bagi Jabotinsky, mereka yang percaya pada keadilan adalah orang bodoh, sebab keadilan milik orang yang berkuasa dan menggunakan kekuasaan itu untuk meraih keinginannya.  Paham Jabotinsky sebenarnya versi Yahudi dari fasisme dan Nazisme yang berkembang di tahun 1920-an dan 1930-an.  Ketika membentuk pasukan paramiliternya, Betar, ia meniru Pasukan Seragam Hitamnya Mussolini dan SA-nya Hitler.  Anggota-anggota Betar saling menyapa dengan salam cara fasis.  Menjelang akhir tahun 1930-an, kaum Revisionis mendirikan suatu pasukan bawah tanah, Irgun Zvei Leumi (Organisasi Militer Nasional).  Irgun dan LEHI (Lohamei Herut Yisrael – Pejuang  Kemerdekaan Israel), yang didirikan oleh Avraham Stern di tahun 1940, melakukan serangan-serangan berdarah di tahun-tahun berikutnya.  Pada waktu itu, Menahem Begin, kemudian menjadi pemimpin Partai Likud dan perdana menteri Israel, adalah anggota Irgun; pemimpin Irgun lainnya, Yitzhak Shamir, yang juga menjadi perdana menteri Israel, adalah seorang teroris yang giat dalam Gerombolan Stern.

Dengan memandang sayap kanan dan kiri Zionisme, akan beralasan untuk berpikir bahwa masing-masing mencari sekutu-sekutu non-Zionis dengan kecenderungan ideologis serupa.  Ini pastilah kedudukan sejarah resmi.  Kisah-kisah Zionis mengatakan kepada kita bahwa WZO sepihak dengan Inggris, sementara para Revisionis menentang Inggris dan mengembangkan hubungan dekat dengan Mussolini.  Suatu penyelidikan yang lebih menyeluruh mengungkapkan bahwa menarik perbedaan ideologi yang tajam di antara kedua kubu tak bisa dibenarkan.  Ini karena keduanya, khususnya WZO, membentuk persekutuan yang tampak bertentangan dengan ideologi yang mereka nyatakan.  Hubungan WZO-Nazi yang dibahas di halaman-halaman sebelumnya tentulah sebuah contoh yang baik.  Kita juga akan melihat bahwa WZO membangun kaitan-kaitan penting dengan Mussolini, sebagaimana yang dilakukan para Revisionis.  Fakta-fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang pentingnya perbedaan ideologis di antara para Zionis.  Jika kedua pihak mempunyai hubungan dengan kaum Nazi dan Fasis, apa makna sayap “kanan” dan “kiri” dalam Zionisme?

Seorang Amerika pakar masalah Timur Tengah Richard Curtiss menawarkan sebuah jawaban atas pertanyaan ini dalam Washington Report on Middle East Affairs (Laporan Washington tentang Masalah Timur Tengah), di mana ia menjadi kepala penyuntingnya.  Dalam sebuah artikel berjudul The Good Cops and Bad Cops Who Killed the Peace Process (Para Polisi Baik dan Polisi Jahat yang Membunuh Proses Perdamaian), Juni 1955, ia berpendapat bahwa perbedaan di antara kedua kubu dalam sejarah politik Zionisme dan Israel sebenarnya tak lebih dari siasat “polisi baik-polisi jahat”.  Ini sebuah siasat kuno dan terkenal, digunakan di setiap kantor polisi di seluruh dunia.  Sang tersangka ditinggalkan sendirian di sebuah ruangan.  Tak berapa lama, seorang polisi yang suka menyerang dan pemarah masuk.  Ia meneror tersangka, bahkan terkadang memukulnya.  Setelah polisi pertama pergi, seorang polisi lain, tampak lebih ramah dan mengasihani, masuk.  Ia mengatakan kepada tersangka bahwa polisi yang sebelumnya itu sangat kejam.  Jika tersangka mau bercerita padanya, sang polisi baik, apa yang diketahuinya, sang polisi baik mungkin dapat melindunginya dari sang polisi jahat.  Tentunya, sandiwara itu telah dilatih baik.  Sang polisi baik dan polisi jahat bekerjasama, masing-masing memainkan perannya.

Itulah siasat polisi baik-polisi jahat, dan sering kali berhasil.  Menurut Ricard Curtiss, dua gerakan politik Israel yang bersaing telah memainkan siasat itu sejak tahun 1930-an.  Curtiss menemukan contoh-contoh tercatat pertama siasat mereka mundur ke tahun 1940-an.  Pada 16 September 1948, para teroris dari kelompok revisionis Gerombolan Stern membunuh Count Folke Bernadotte di Yerusalem.  Bernadotte adalah seorang perunding PBB di Palestina dan terkenal akan kecamannya tehadap kebijakan pendudukan Israel.  Perdana Menteri Ben Gurion mengutuk pembunuhan itu dan menyatakan bela sungkawanya yang mendalam di markas besar PBB.  Namun, para pemimpin komplotan pembunuh itu, tampaknya, tak dapat ditemukan.  Belakangan, mereka muncul di tempat-tempat yang mengejutkan.  Joshua Cohen, pembunuh Berhadotte, menjadi pengawal pribadi perdana menteri.  Yitzhak Shamir, salah satu pemimpin yang memerintahkan pembunuhan itu, ditunjuk menjadi kepala seksi Eropa dari Mossad (badan intelijen Israel).  Selama masa jabatan Ben Gurion sebagai perdana menteri, sejumlah agen Mossad di Eropa membunuh sejumlah musuh-musuh Israel atas perintah Shamir.

Hanya terdapat satu penjelasan: air mata Ben Gurion atas kematian Bernadotte adalah palsu.  Perdana menteri Israel dari Partai Karya itu amat gembira atas pembunuhan Bernadotte oleh Gerombolan Stern.  Ia sedang memainkan peran polisi baik untuk meredakan kemarahan dunia.  Curtiss menyebutkan banyak lagi contoh sandiwara polisi baik-polisi jahat Zionis semacam itu, tak semuanya berkaitan langsung dengan perhatian kita berikutnya: mengapa ada dua kubu berbeda dalam gerakan Zionis, sementara keduanya bersekongkol dengan kaum Nazi dan Fasis.

Jawaban pertanyaan itu adalah Inggris, karena satu-satunya perbedaan nyata di antara kedua sayap (mengingat keduanya bekerjasama dengan Nazi) adalah sikap mereka terhadap Inggris.  Karena keresahan bangsa Arab, Inggris telah menerapkan pembatasan atas perpindahan kaum Yahudi ke Palestina, yang berada di bawah pemerintahan Inggris sebagai mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB).  Ini membuat geram para Zionis.  Mereka perlu bertindak melawan Inggris, namun melecehkan adikuasa ini akan berakibat buruk bagi Zionisme.  Maka, kaum Zionis memainkan siasat polisi baik-polisi jahat pada Inggris.  Sementara WZO mempertahankan hubungan baik dengan Inggris, para pengikut Vladimir Jabotinsky membom sasaran-sasaran milik Inggris di Palestina.  WZO tulus menyatakan bahwa para Zionis akan selalu berpihak kepada Inggris, dan bahwa serangan-serangan itu dilakukan para fanatik.  Inggris tidak berpaling menghadapi Zionisme sebagai satu kesatuan.

Ketika akhirnya jemu dengan serangan-serangan Revisionis, Inggris mundur dari Palestina.  Setelah itu, sebuah negara Yahudi diproklamasikan atas separuh daerah Palestina, menyusul resolusi PBB di tahun 1947.  Siasat polisi baik-polisi jahat telah berhasil.  Polisi baik dan polisi jahat kembali bersatu ketika NZO, yang didirikan oleh Jabotinsky, dibubarkan dan bergabung dengan WZO.  Itulah cerita sebenarnya tentang perbedaan antara para Zionisme Revisionis dan Zionisme sayap kiri, yang diwakili WZO.  Kebenarannya nyata: kebijakan-kebijakan mereka, kecuali sikap mereka yang terkenal terhadap Inggris, sebenarnya serupa.  Italianya Mussolini memberikan gambaran lain kesepakatan di bawah permukaan di antara kubu-kubu Zionis.

Mussolini, Fasisme Italia, dan Zionisme

Zionisme tak hanya membentuk persekutuan dengan para anti-Semit Jerman.  Gerakan ini bercita-cita mendorong semua Yahudi di mana pun pindah ke Palestina.  Jadi, pada tahun 1930-an dan 1940-an, para Zionis membuat persekutuan rahasia dengan kekuatan-kekuatan fasis lain.  Kesepakatan lain yang paling patut dicatat adalah dengan Mussolini yang kemudian menjadi sekutu terpenting Hitler.  Di awal 1920-an, setelah meraih kekuasaan, Mussolini mulai memberlakukan sistem totaliter kanan baru yang disebutnya Fasisme.  Ia sangat berminat pada wilayah Laut Tengah (Mediterania), dan akibatnya pada Timur Tengah, sebab sebagian besar daerah itu pernah dikuasai oleh para kaisar Romawi, yang dipandang Mussolini sebagai para pendahulunya.  Karena itu, tak mungkin baginya mengabaikan masalah Palestina.

Sejak saat tertarik pada Palestina, Mussolini telah berpihak pada Zionis.  Ia mengetahui bahwa Zionisme adalah suatu kepentingan besar, dan bermaksud merebut peran pelindung Zionisme dari Inggris.  Brenner melukiskan hubungan antara kaum Zionis dan Mussolini secara rinci dalam bukuya Zionism in the Age of Dictators.  Menurut Brenner, kaum Yahudi adalah sebuah faktor penting dalam gerakan Fasis Mussolini.  Lima orang Yahudi termasuk di antara para pendiri Fasisme.  Sekali berkuasa, Mussolini menunjuk sebagai menteri keuangannya wakil presiden Banca Comerciale Italiana, sebuah bank kuat yang dimiliki orang Yahudi.  Dua orang menteri luar negeri Mussolini, Sidney Sonnino dan Carlo Schanzar, adalah keturunan Yahudi.
Engelbert Dollfuß, diktator anti-Semit dari Austria dan "salah satu teman-teman non Yahudi Zionisme," dalam kata-kata Nahum Sokolow, pemimpin Organisasi Zionis Dunia.
Pada paruh kedua 1920-an, Mussolini beberapa kali menemui wakil-wakil WZO.  Akan tetapi, tak ada catatan tertulis tentang pertemuan-pertemuan ini.  Weizmann berupaya tetap merahasiakannya.  Brenner menunjukkan bahwa otobiografi Weizmann sengaja disamarkan, dan sering menyesatkan, tentang hubungannya dengan Mussolini.  Pada 17 September 1926, Weizmann diundang ke Roma untuk berbicara dengan Mussolini; Mussolini menawarkan untuk membantu kaum Zionis membangun ekonominya dan pers Fasis mulai menerbitkan artikel-artikel yang mendukung tentang Zionisme Palestina.  Sebulan kemudian, orang nomor dua WZO, Nahum Sokolow, mengunjungi diktator Italia itu, dan Mussolini kembali menegaskan dukungannya bagi Zionisme.  Beberapa tahun kemudian Mussolini, selama sebuah pertemuan dengan utusan Zionis lainnya, mengungkapkan kepuasannya atas keberhasilan pertemuan dengan Weizmann dan dukungannya bagi Zionisme sebagai berikut: “...  Namun, Anda harus mendirikan sebuah negara Yahudi.  Saya sendiri seorang Zionis dan saya katakan demikian kepada Dr.  Weizmann.  Anda harus memiliki suatu negara yang sebenarnya (un véritable Etat), bukan Tanah Air Nasional yang janggal sebagaimana ditawarkan Inggris kepada anda.  Saya mesti membantu Anda mendirikan sebuah negara Yahudi...”.  [huruf-huruf miring sebagaimana naskah aslinya]

Hubungan Mussolini dengan kaum Revisionis lebih menyeluruh dan efektif.  Brenner membahas kaitan-kaitan yang menarik ini dalam buku-bukunya Zionism in the Age of Dictators dan The Iron Wall: Zionist Revisionism from Jabotinsky to Shamir (Tembok Besi: Revisionisme Zionis dari Jabotinsky ke Shamir).  Menurut Brenner, para Revisionis mulai mencari sekutu baru setelah keluar dari WZO.  Italia merupakan calon yang alamiah.  Jabotinsky memimpikan sebuah tatanan Laut Tengah baru dalam persekutuan dengan Italia.  Ia menjelaskan dalam suatu wawancara: “Kami menginginkan sebuah Kekaisaran Yahudi.  Sama seperti Kekaisaran Italia atau Perancis di Laut Tengah, kami inginkan Kekaisaran Yahudi.”  Kekaisaran Yahudi itu nantinya mencakup Yordania maupun Palestina, serta sebagian Mesir dan Irak.  Jabotinsky menganggap diri versi Yahudi dari Mazzini dan Garibaldi!  (Keduanya tokoh nasionalis Italia abad ke-19).  Mussolini amat bersimpati kepada para Revisionis.  Ia menggambarkan mereka sebagai kaum Fasisnya Zion.  Di bulan November 1934, Mussolini mengizinkan Betar, sayap pemuda Jabotinsky, mendaftarkan satu regunya ke akademi maritim di Civitavecchia, yang dikelola oleh Pasukan Seragam Hitam.  Para militan Betar berlatih bersama dengan Pasukan Seragam Hitam, dan lalu berangkat ke Palestina untuk berperang dalam pasukan Irgun.

Para Revisionis kian akrab dengan Fasisme.  Abba Achimeir dan Wolfgang von Weisl, para pemimpin Revisionis di Palestina, menyarankan agar Jabotinsky disebut Duce (pemimpin atau panglima) mereka, sama seperti orang Italia merujuk ke Mussolini dengan Il Duce.  Jabotinsky ingin menyelenggarakan kongres internasional pertama NZO di Trieste, di Italia yang Fasis.  Tetapi, tempatnya diubah karena khawatir akan kemarahan masyarakat.  Di tahun 1935, Mussolini mengatakan kepada David Prato, yang kemudian menjadi ketua rabbi Roma: “Agar Zionisme berhasil, Anda harus memiliki negara Yahudi, dengan bendera Yahudi dan bahasa Yahudi.  Orang yang benar-benar mengerti hal itu adalah orang fasis Anda, Jabotinsky.”

Mesti diingat bahwa para Revisionis juga memuji Hitler dan Nazi.  Abba Achimeir mengungkapkan pandangannya dalam sebuah pidato: “Ya, kami para Revisionis amat mengagumi Hitler.  Hitler telah menyelamatkan Jerman.  Jika tidak, Jerman mungkin punah dalam tempo empat tahun”.  Simpati Revisionis pada Nazi bahkan terlihat pada seragam mereka.  Para anggota Betar mengenakan seragam coklat yang sama seperti SA-nya Hitler.  Di tahun 1931, majalah Amerika mereka, Betar Monthly, menulis:

Ketika [Zionis lain] menyebut kami dengan Revisionis dan Betarim Hitlerit (pengikut Hitler), kami tak merasa terganggu...  Jika Herzl seorang Fasis dan Hitlerit, jika suatu mayoritas Yahudi terbentuk di kedua sisi sungai Yordan, jika sebuah negara Yahudi di Palestina yang akan memecahkan masalah-masalah ekonomi, politik, dan budaya bangsa Yahudi, adalah Hitlerisme, maka kami Hitlerit.
Revisionis, polisi-polisi jahat Zionisme, bermain Hitlerisme apa adanya.  Di sisi lain, para polisi baik dari WZO mengadakan hubungan terselubung dengan para fasis Jerman dan Italia, yang membawa mereka ke sekutu ketiga: Fransisco Franco.  Franco, yang menaklukkan golongan kiri Republik di Spanyol setelah tiga tahun perang saudara di tahun 1939, dan lalu membangun versi fasismenya sendiri, yang disebut Falangisme, telah dibantu oleh Hitler dan Mussolini.  Akhirnya, para Zionis menemukan jalan mereka ke sisi Franco.  Sementara telah diketahui bahwa banyak orang Yahudi berperang melawan Franco, mereka ini umumnya Yahudi pembaur.  Sebagaimana ditunjukkan Lenni Brenner, para Zionis tak pernah mendukung Yahudi yang melawan Franco; sebaliknya, para Zionis sangat menentang mereka.  Satu alasan dari sikap Zionis ini mungkin adalah jatidiri Franco yang sebenarnya.  Shalom, sebuah majalah bagi Yahudi Turki melaporkan pada 29 April 1992 bahwa Franco adalah keturunan Yahudi dan leluhurnya adalah Marrano (sebutan bagi orang Yahudi yang beralih ke Nasrani di Spanyol abad pertengahan).  Dalam buku The World Order: Our Secret Rulers, sejarawan Amerika Eustace Mullins menulis bahwa penyokong dana utama bagi Franco, yakni Juan March, juga seorang Marrano.

Sampai di sini kita telah membahas hubungan Zionis dengan Hitler, Mussolini, dan Franco.  Akan tetapi, para ekstrimis kanan tak terbatas pada para pendukung ketiga orang itu.  Di seluruh Eropa, dari Spanyol sampai Austria, dari Polandia hingga Rumania, terdapat banyak gerakan fasis yang menjadikan Hitler atau Mussolini sebagai teladan mereka.  Di tahun 1920-an dan 1930-an, mereka tumbuh kian kuat.  Ini berarti sekutu-sekutu baru bagi Zionisme.

Gerombolan Stern Menawarkan Sebuah Persekutuan dengan Nazi

Di halaman-halaman sebelumnya, kami telah menyebut-nyebut Zonisme revisionis.  Revisionisme, yang berdasarkan ideologi kanan, sebenarnya ultra-kanan, yang bertentangan dengan kecenderungan kiri WZO, meningkatkan serangan bersenjatanya di Palestina di paruh kedua 1930-an.  Serangan-serangan mereka diarahkan baik kepada bangsa Arab maupun sang pemegang mandat Inggris, yang ketat membatasi perpindahan kaum Yahudi, dan dirancang oleh Irgun atau National Military Organization (NMO).  Setelah pecahnya Perang Dunia II, Irgun terbagi dua kubu.  Sayap Jabotinsky memutuskan menghentikan operasi militer melawan Inggris selama perang.  Kubu kedua yang lebih kecil dan radikal, menganjurkan melanjutkan perjuangan melawan Inggris sampai London mengakui sebuah negara Yahudi yang berdaulat.  Kelompok ini, yang dipimpin Avraham Stern, keluar dari Irgun pada bulan September 1940 dan menjadikan dirinya organisasi terpisah.  Mereka tetap menganggap diri Irgun atau NMO selama beberapa tahun; lalu mengganti nama menjadi LEHI, sementara di mata musuh-musuhnya, mereka dikenal sebagai Gerombolan Stern.

Gerombolan Stern memiliki tujuan-tujuan yang sangat ambisius.  Sebagaimana dinyatakan dalam Delapan Belas Prinsip Stern, tujuan utama gerombolan mencakup: sebuah negara Yahudi dengan batas-batas seperti yang dijelaskan di dalam Kitab Kejadian (dari Sungai Nil di Mesir sampai Sungai Sungai Efrat di Irak), pengusiran bangsa Arab, dan akhirnya, pembangunan kembali kuil Yerusalem.
Gerombolan Stern telah memutuskan melawan Inggris, dan karena itu mereka segera mencari cara bekerjasama dengan musuh-musuh Inggris.  Di bulan September 1940, pemimpin gerombolan mengadakan kontak dengan agen Italia di Yerusalem.  Di sana, mereka menyusun suatu kesepakatan dengan mana Mussolini akan mengakui sebuah negara Zionis sebagai balasan atas kerjasama Gerombolan Stern dengan angkatan bersenjata Italia.
Sepanjang rezim diktator Jozef Piłsudski di Polandia, rasis Zionis menjalin hubungan erat dengan Piłsudski, dikenal karena anti-Semitisme nya.
Akan tetapi, kesepakatan ini tak membawa hasil yang nyata, sebab pihak Italia tak sungguh-sungguh menanggapi tawaran itu.  Selanjutnya, Stern mengirim Naftali Lubentschik ke Beirut untuk menemui orang-orang Jerman.  Lubentschik membuat kontak dengan dua orang Nazi, Rudolf Rosen dan Otto von Hetig, dan menawari mereka sebuah persekutuan militer yang luas.  Usai perang, sebuah salinan tawaran Gerombolan Stern ditemukan di antara arsip-arsip di Kedutaan Besar Jerman di Turki.  Karenanya, arsip-arsip itu disebut dokumen Ankara.  Menurut dokumen itu, organisasi Zionis Stern menawarkan sebuah persekutuan militer resmi dengan Pemerintah Nazi.  Secara ringkas, dokumen berisi:
1.  Kesamaan kepentingan mungkin ada antara pembentukan sebuah Tatanan Baru di Eropa yang sejalan dengan konsep Jerman, dan cita-cita nasional sejati rakyat Yahudi sebagaimana dilembagakan dalam NMO;
2.  Kerjasama antara Jerman baru dan negara bangsa Yahudi yang diperbaharui akan mungkin; dan
3.  Pendirian negara Yahudi yang bersejarah atas dasar nasional dan totaliter, dan dibatasi oleh sebuah perjanjian dengan Reich Jerman, akan termasuk dalam kepentingan menjaga dan memperkuat kedudukan Jerman di Timur Dekat.

Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan ini, NMO di Palestina, dengan syarat bahwa cita-cita nasional gerakan kemerdekaan Israel yang disebutkan di atas diakui sebagai bagian Reich Jerman, menawarkan diri berperan aktif dalam perang di pihak Jerman.

Pada bulan Desember 1941, Stern mengirim Nathan Yalin-Mor untuk mencoba menghubungi orang-orang Nazi di Turki yang netral, namun ia ditangkap dalam perjalanan dan pertemuan pun batal.  Menurut Brenner, tak ada petunjuk bagaimana atau apakah Nazi menanggapi tawaran itu.  Paling mungkin, kaum Nazi menganggap Stern kelompok kecil dan tak efektif, dan tak terlalu memikirkan tawarannya.  Akan tetapi, apa yang penting di sini adalah sebuah organisasi Zionis menawarkan suatu persekutuan militer kepada Jerman di tahun 1941, tahun saat genosida Yahudi disetujui untuk diluncurkan.  Pernyataan tegas Stern bahwa kaum Yahudi dan tatanan barunya Nazi secara mendasar berbagi kepentingan tak terbantahkan nilainya.  Yalin-Mor belakangan menyimpulkan alasan di balik tawaran organisasinya kepada Nazi di tahun 1941, di tengah-tengah perang.  Ia mengakui bahwa tujuan Stern membujuk kaum Yahudi berpindah ke Palestina amat sejalan dengan rencana-rencana Jerman mengusir kaum Yahudi dari Eropa.

Fakta penting dan menarik lainnya adalah jatidiri seorang anggota Gerombolan Stern yang terkemuka saat dokumen Ankara terungkap: Yitzhak Shamir, yang awalnya menjadi menteri kabinet, lalu perdana menteri Israel tahun 1977–1992.  Shamir, seperti gurunya Menahem Begin, adalah seorang teroris kejam di tahun 1940-an, ketika ia terkenal jahat karena serangan-serangan berdarahnya pada sasaran-sasaran Inggris dan Arab.

Peran Shamir dalam upaya bersekutu dengan Nazi tak diragukan lagi adalah sebuah masalah penting.  Bertahun-tahun sejak dokumen Ankara ditemukan, Shamir hanya menjawab beberapa pertanyaan tentangnya.  Akan tetapi, hampir segala sesuatu yang diketahui tentang tawaran bersekutu itu menunjukkan bahwa ia termasuk salah seorang perancang utamanya.  Brenner mengamati bahwa bertolak belakang, bahkan ganjil, seorang calon sekutu Adolf Hitler bisa naik menjadi pemimpin negara Zionis.

Masa lalu Yitzhak Shamir yang kelam disingkapkan oleh temannya sesama orang Israel kali pertama di tahun 1989, saat dokumen Ankara diterbitkan di Jerusalem Post, sebuah koran utama Israel.  Kisah itu mengakibatkan keguncangan hebat, dan untuk kali pertama, sepak terjang masa perang Gerombolan Stern yang sembrono menjadi pokok pembicaraan di Israel.

Kini, ada banyak buku yang membahas dokumen Ankara.  Namun, kebanyakan pengarangnya, khususnya yang Yahudi, memperlakukan hubungan Nazi-Stern sebagai sebuah peristiwa sejarah yang kabur.  Misalnya, Yehoshafat Harkabi, seorang pensiunan kolonel Israel, menafsirkannya sebagai sebuah cerita samar dalam sejarah kaum Yahudi dalam bukunya Israel’s Fateful Hour (Masa-masa Genting Israel).  Namun, peristiwa itu tak sepenuhnya samar.  Satu-satunya hal yang menjadikan kesamaran itu adalah kebanyakan orang hanya mengetahui peran Stern dalam persekongkolan Nazi-Zionis.  Hal itu karena cuma dokumen-dokumen Stern yang diterbitkan.  Hubungan antara Nazi dan WZO tetap umumnya tak diketahui.  Karena itu, para pemimpin Israel, dan masyarakat Zionis masa kini pada umumnya, dapat berkelit dari dokumen Ankara dengan memperlakukannya sebagai penyimpangan yang janggal.  Karena tak terbantahkan bahwa Gerombolan Stern itu ekstrimis, simpati mereka pada Nazi dapat dianggap wajar.  Menurut istilah kita, mereka polisi jahatnya Zionis.  Wajar saja, hal yang sama tak dapat dikatakan tentang WZO yang “sosialis”, atau tentang Weizmann, Ben Gurion, atau lain-lainnya yang berperan sebagai polisi baik.

Fakta-fakta ini memperjelas bahwa kedua sayap gerakan Zionis sebenarnya mengarah ke fasisme, sebab Zionisme itu sendiri fasis dan rasis.  Itulah mengapa tak hanya orang-orang radikal dari Gerombolan Stern, namun semua kubu Zionis, telah bersekongkol dengan Nazi dan kaum fasis sejenisnya.  Gerombolan Stern sebenarnya cuma puncak gunung es (sekelumit saja dari keseluruhan),
Potongan cerita terakhir yang akan dibahas dalam masalah ini diberikan oleh Eichmann in Jerussalem: A Report on the Banality of Evil (Eichmann di Yerusalem: Sebuah Laporan tentang Dangkalnya Kejahatan), sebuah buku karangan Hannah Arendt, yang, seperti Lenni Brenner, seorang Yahudi anti-Zionis.  Dengan berfokus pada Adolf Eichmann, Arendt menyingkapkan segi-segi tertentu persekongkolan Nazi-Zionis yang sebelumnya tersembunyi.
Avraham Stern (kanan), yang mendirikansebuah organisasi baru dengan radikal seperti dirinya setelah meninggalkan Irgun, menawarkan sebuah aliansi militer Nazi pada tahun 1941. Nathan Yalin-Mor (kiri) ditugaskan untuk bertemu dengan Nazi atas nama Stern, kemudian akan menjelaskan logika dari aliansi ini dengan menyatakan bahwa proyek meyakinkan orang Yahudi untuk berimigrasi secara masal adalah sesuai penuh dengan tujuan Jerman pembersihan Eropa orang Yahudi.
Adolf Eichmann
Buku Arendt Eichmann in Jerussalem adalah salah satu buku terpenting tentang hubungan Nazi–Zionis.  Buku ini penting karena Arendt terkemuka di Amerika pasca perang maupun di kalangan Yahudi sebagai seorang pemikir sejarah dan politik.

Bukunya menceritakan pengadilan mantan perwira SS Adolf Eichmann, yang diculik di Argentina pada tahun 1960 oleh agen-agen Mossad, dibawa ke Israel, dan diadili.  Eichmann itu penting karena dialah orang yang ditunjuk memecahkan masalah Yahudi, atas perintah Reinhard Heydrich.  Israel menggunakan pengadilan Eichmann untuk membuat propaganda...  Namun pengadilan Eichmann itu suatu cerita yang aneh, sebuah cerita yang sangat tak sejalan dengan propaganda Israel.  Arendt membeberkan fakta-fakta yang menarik.

Pertama-tama, Arendt menarik perhatian ke Undang-undang Nuremberg, diberlakukan tahun 1935 oleh Nazi, yang mencoba mengucilkan kaum Yahudi dari masyarakat Jerman.  Arendt menunjukkan bahwa undang-undang itu sangat cocok bagi kaum Yahudi yang sedang mencoba mempertahankan homogenitas Rumah Israel, dan aturan-aturan yang sama, sekalipun tak tertulis, masih berlaku di Israel.  Ia mengingatkan kita bahwa di Israel, orang Yahudi dilarang menikah dengan selain Yahudi.  Dalam membahas latar belakang masalahnya, Arendt memaparkan fakta-fakta mengejutkan tentang Eichmann.  Eichmann bukan seorang anti-Semit di masa mudanya, dan bahkan memiliki ipar-ipar orang Yahudi (misalnya, satu orang dari keluarga Weiss, direktur utama Vacuum Oil Company of Vienna).  Menurut Arendt, Eichmann tertarik pada gerakan Freemasonry dan selama beberapa waktu mengikuti Schlaffaria Lodge, sebuah cabang gerakan itu.
Yitzhak Shamir, salah satu direktur utama organisasi Stern yang menawarkan aliansi militer dengan Nazi. Atas kanan: Sebuah kartu identitas yang Shamir digunakan selama 1940-an, ketika ia pencarian untuk aksi terorisme nya.
Karir militer Eichmann bermula di tahun 1934 saat memasuki SD, sayap keamanan SS.  SD, yang didirikan oleh Reichsführer-SS Heinrich Himmler, beroperasi sebagai dinas intelijen di bawah arahan Heydrich.  Sesaat setelah bergabung, Eichmann memasuki seksi urusan kaum Yahudi di SD, dan menjadi pakar masalah Yahudi.  Selama kurun waktu itu, ia membuat kontak pertamanya dengan para pemimpin Zionis di Jerman.  Arendt mengatakan bahwa saat itu Eichmann membaca buku Theodor Herzl The Jewish State (Negara Yahudi) dan amat terkesan dengannya:
...Von Mildenstein...  memintanya membaca buku Theodor Herzl Der Judenstaat, karya klasik Zionis yang terkenal, yang segera dan selamanya mengalihkan Eichman ke Zionisme...  Sejak itu, sebagaimana dikatakannya berkali-kali, ia hampir tidak memikirkan apa pun selain sebuah ‘pemecahan politis’...  dan bagaimana “mendapatkan tanah yang kokoh di bawah kaki kaum Yahudi”...  Untuk membantu upaya ini, ia mulai menyebarkan ajaran itu di antara rekan-rekannya di SS, memberikan ceramah serta menulis pamflet ....  Ia lalu bisa sedikit berbahasa Ibrani...  Ia bahkan membaca History of Zionism (Sejarah Zionisme) karya Adolf Bohm ...  dan ini mungkin sebuah pencapaian besar bagi seseorang, yang menurutnya sendiri, selalu enggan sama sekali membaca apa pun selain suratkabar.

Alasan Eichmann begitu tertarik pada Zionisme terletak pada kesejajaran yang dikesaninya ada antara Zionisme dan tujuan-tujuan Nazisme.  Sama seperti Nazi, para Zionis ingin memindahkan seluruh Yahudi dari wilayah Reich.  Bagi pihak Nazi, itu disebut Judenrein (bebas Yahudi); bagi para Zionis, itu berarti sebuah negara Yahudi.  Itulah mengapa Eichmann menyimpulkan tujuannya sebagai mendapatkan tanah yang kokoh di bawah kaki kaum Yahudi, untuk menegaskan pentingnya mendukung penciptaan sebuah negara Yahudi.  Sebagaimana dikatakan di muka, pada masa ini, dua kubu utama menonjol di kalangan Yahudi: kaum Zionis dan Yahudi pembaur.  Kubu kedua menolak perpindahan ke Palestina dan mendukung pembauran ke dalam masyarakat Jerman.  Eichmann mengagumi kaum Zionis dan merasa jijik pada para pembaur.
Setelah ditugaskan sebagai SD's (-layanan Sicherheitsdienst keamanan SS) spesialis untuk emigrasi Yahudi, petugas Nazi Adolf Eichmann mulai mengambil minat khusus dalam Zionisme radikal. Dia membaca buku-buku penulis berbagai Zionis, khususnya Herzl, dan bahkan belajar bahasa Ibrani. Dia sangat menyukai filsafat Zionis radikal dan misi, dan menjadi salah satu arsitek terkemuka dari aliansi Nazi didirikan dengan mereka.

Kontak pribadi pertamanya [adalah dengan] para fungsionaris kaum Yahudi, yang semuanya Zionis kawakan yang terkenal...  Alasan ia menjadi sangat terpukau oleh masalah Yahudi, dijelaskannya, adalah ...  idealismenya sendiri; para Yahudi ini, tidak seperti para pembaur yang selalu dipandangnya hina, sama idealis seperti dirinya ...  .  Seorang idealis terbesar yang pernah ditemui Eichmann di kalangan Yahudi adalah Dr.  Rudolf Kastner, dengan siapa ia berunding selama pengusiran kaum Yahudi dari Hongaria...

Apa yang disebut Eichmann idealisme, dan sama dimiliki oleh para Zionis, sesungguhnya rasisme.  Para rasis di kedua pihak tak menginginkan kaum Yahudi dan Jerman hidup berdampingan.  Tentang hal ini, setidaknya, mereka bersepakat.  Itulah alasan bagi bantuan besar yang diberikan Nazi untuk pemindahan kaum Yahudi ke Palestina.

Upaya-upaya Eichmann Memaksa Bangsa Yahudi Pindah ke Palestina

Di tahun 1938, ketika Anschluss (penyatuan Jerman dan Austria) dimulai, kekuasaan Eichmann mengembang ke lingkup yang lebih besar: ia menjadi kepala kantor perpindahan Yahudi dari Austria.  Dalam delapan bulan, ia telah mengawasi pemindahan 150 ribu orang Yahudi dari Austria, banyak di antaranya yang akhirnya diarahkan ke Palestina.  Eichmann menjalin kerjasama terselubung dengan para pemimpin Zionis dalam prosedur perpindahan.  Belakangan Eichmann (seperti dikutip Arendt) akan mengatakan yang berikut tentang operasi pemindahan itu:
 “...  Pemecahan yang sama-sama dapat diterima, sama-sama adil, harus ditemukan.  Pemecahan yang saya bayangkan adalah mendapatkan tanah yang kokoh di bawah kaki mereka sehingga mereka akan memiliki rumah sendiri, tanah sendiri.  Dan saya sedang bekerja ke arah pemecahan itu ...  dengan senang hati, karena ini juga jenis pemecahan yang disetujui oleh pergerakan di kalangan Yahudi sendiri, dan saya menganggap inilah pemecahan paling tepat atas masalah.” Inilah alasan sejati mereka “bekerjasama,” alasan upaya mereka “didasarkan pada kesamaan kepentingan”.  Demi kepentingan kaum Yahudi-lah, walau mungkin tidak semuanya mengerti, untuk keluar dari negara itu;  “seseorang harus membantu mereka,“ seseorang harus membantu para fungsionaris ini bertindak, dan “itulah yang saya lakukan.”

Arendt, saat mengulas kata-kata Eichmann, mengatakan: “Jika para fungsionaris Yahudi itu ‘idealis,’ yakni, Zionis, ia menghargai mereka, ‘memperlakukan mereka sederajat,’ mendengarkan semua ‘permintaan, keluhan, dan permohonan dukungan,’ memenuhi ‘janjinya’ sebisa mungkin...  ”
Pengarang Yahudi ini melanjutkan:

Karena “tak dapat disangkal bahwa selama tahap-tahap pertama kebijakan Yahudi-nya, kaum Nazi mengira bahwa bersikap pro-Zionis itu tepat “ (Hans Lamm), dan selama tahap-tahap pertama inilah Eichmann memperoleh pemahaman mendalam tentang kaum Yahudi.  Ia pastilah tak sendirian dalam menganut sepenuh hati “pro-Zionisme” ini; kaum Yahudi Jerman sendiri berpikir bahwa akan cukup membalikkan “pembauran” lewat sebuah proses “pemurnian” baru dan mengerumun ke barisan gerakan Zionis.

Arendt menyimpulkan:
 

Selama tahun-tahun pertamanya, kenaikan Hitler ke tampuk kekuasaan tampak bagi para Zionis utamanya sebagai “kekalahan yang menentukan bagi paham pembauran.“ Karena itu, para Zionis mampu, setidaknya selama beberapa saat, dalam tingkat tertentu terlibat kerjasama tak jahat dengan para pejabat Nazi; para Zionis juga percaya bahwa pemurnian, yang digabungkan dengan pemindahan ke Palestina para pemuda dan, mereka harapkan, para pemodal Yahudi, dapat menjadi pemecahan yang sama-sama adil.

Arendt juga menulis bahwa, sebagai hasil kebijakan-kebijakan Nazi, kaum Yahudi Jerman mengerumun ke barisan gerakan Zionis.  Tiras mingguan Zionis Die Judische Rundschau meningkat dari kira-kira 5-7 ribu menjadi hampir 40 ribu lembar di beberapa bulan pertama rejim Hitler.  Nazi mengembangkan hubungan yang sangat baik tak hanya dengan Jewish Agency, yang beroperasi di bawah naungan WZO, melainkan juga dengan kelompok-kelompok Zionis yang mandiri.  Lebih jauh, Gestapo dan SS adalah yang paling menbantu bagi para Zionis.  Begitu sukarelanya Eichmann, tulis Arendt, sehingga pada suatu kejadian, ia sampai mengusir sekelompok biarawati dari sebuah biara demi menyediakan asrama bagi pelatihan pertanian pemuda Yahudi; pada kejadian lain, serangkaian kerata api khusus disediakan, di mana para pejabat Nazi mendampingi sekelompok calon pemukim ke pusat pelatihan Zionis.  (Arendt tak menjelaskan pelatihan apa yang didapat kelompok ini, namun besar kemungkinan termasuk pelatihan pemakaian senjata).

Fakta-fakta ini sukar dipercaya – sama seperti banyak fakta lain yang disebutkan di muka.  Namun demikian,  semuanya cermat.  Tak diragukan lagi bahwa Hannah Arendt, yang seorang Yahudi, memberikan sumbangan penting dengan mengumpulkan dan mencatatnya.

Masa Perang dan Negara-negara Otonom Yahudi di Bawah Perlindungan Nazi

Arendt menceritakan dalam buku Eichmann In Jerusalem bahwa tahap awal kebijakan Yahudinya Nazi berakhir di hari-hari awal perang.  Tahap pertama, menurut kata-kata Arendt, adalah tahap pengusiran.  Bekerjasama dengan para Zionis, kaum Nazi mengeluarkan kaum Yahudi dari Jerman dan Austria, dan bertindak lebih jauh dengan memindahkan mereka ke Palestina.  Menurut Arendt, tahap kedua dimulai bersamaan dengan perang, sebab tak mungkin lagi memukimkan kaum Yahudi ke Palestina.

Karena Jerman kini sedang berperang melawan Inggris, dan kapal-kapal Jerman tak dapat mengangkut penumpang melalui laut yang diawasi Inggris ke suatu daerah yang dikuasai Inggris.  Arendt mengulas singkat tentang keadaan yang berubah ini: “pemindahan paksa” telah menjadi rumusan resmi pemecahan masalah Yahudi, namun pemindahan tak lagi mungkin.  Karena itu, kata Arendt, kebijakan Nazi memasuki tahap kedua perkembangan: semua kaum Yahudi di Eropa akan dikumpulkan dan dikucilkan.  Setelah tahap ini, menurut Arendt, tahap ketiga, atau tahap Pemecahan Akhir, segera menyusul, dan semua orang Yahudi yang telah dikumpulkan akan dijadikan sasaran pemusnahan.

Bagaimana pun, Arendt menyampaikan satu fakta menarik lain: karena tak dapat melanjutkan pemukiman kaum Yahudi ke Palestina akibat suasana perang, kaum Nazi mencari pemecahan baru, dan memutuskan untuk mendirikan negara-negara kecil dan sementara bagi kaum Yahudi.  Sebenarnya, ini bukan barang baru, sekedar kelanjutan dalam kemasan berbeda kebijakan lama Nazi-Zionis untuk memisahkan kaum Yahudi dari bangsa Jerman.

Upaya pertama membangun negara Yahudi seperti itu adalah Rencana Nisko.  Rencana ini disusun oleh Eichmann dan Brigadeführer SS, Franz Stahlecker, menyusul kemenangan Jerman atas Polandia.  Polandia lalu dibagi antara Nazi dan Soviet, dan satu juta orang Yahudi Polandia yang berada di daerah pendudukan Jerman menjadi masalah bagi Nazi.  Karena itu, Eichmann dan Stahlecker menyusun Rencana Nisko.  Rencana ini mencakup pemindahan paksa kaum Yahudi yang tinggal di daerah-daerah yang baru diduduki, dan kaum Yahudi di daerah-daerah Reich lainnya, ke General Government (daerah Polandia yang diduduki Jerman), yang, apa pun daerah itu, tidak dianggap bagian dari Reich.  Arendt mengatakan bahwa rencana ini perwujudan sementara tujuan Eichmann untuk menyediakan sebuah daerah bagi kaum Yahudi.  Arendt juga menyebutkan bahwa perancang Rencana Nisko lainnya, Stahlecker, biasa berjabat tangan dengan para fungsionaris Yahudi.

Rencana Eichmann dan Stahlecker mendapat dukungan Heydrich, sehingga ribuan orang Yahudi dikumpulkan di “daerah otonom Nisko” dan membangun kerangka kerja awal bagi sebuah pemerintahan.  Suatu dewan kaum Yahudi dibentuk atas perintah Nazi, dan Eichmann menyusun sebuah pusat perpindahan kaum Yahudi.  Para perwira SS mengatakan kepada kaum Yahudi yang dipindahkan ke daerah itu: ”Führer telah menjanjikan ...  kaum Yahudi ...  sebuah tanah air baru.”  Namun demikian, efektifitas rencana ini dihambat oleh suasana perang, dan tak sesuatu pun yang mirip negara sejati dapat terbentuk.  Bagaimana pun, orang-orang Yahudi telah terkumpul dan kini akan lebih mudah memindahkan mereka ke Palestina.

Sebagaimana diingatkan Arendt, Nazi mencoba mendirikan negara-negara otonom Yahudi di tempat lain.  Upaya kedua Eichmann terjadi tahun 1940.  Upaya ini dikenal sebagai Rencana Madagaskar, sebab dirancang untuk memindahkan 4 juta orang Yahudi ke Madagaskar, dan pembangunan sebuah negara bagi mereka di bawah perlindungan Nazi.  Proyek ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan Proyek Uganda dulu yang dirancang oleh Inggris.  Proyek Uganda menawarkan Uganda, bukan Palestina, sebagai tanah air bagi kaum Yahudi.  Inggris lebih memilih Uganda karena khawatir pada keresahan bangsa Arab tentang Palestina.  Proyek ini bagaimana pun ditolak para Zionis.  Kini Nazi sedang mencoba sebuah proyek serupa.  Karena tak menguasai Palestina, tak mungkin Nazi menawarkannya pada Zionis.  Madagaskar, sebuah jajahan Vichy Perancis, tampaknya lebih mungkin secara politis
.
Satu contoh lain upaya membentuk sebuah negara Yahudi otonom adalah upaya Heydrich, dengan bantuan Eichmann, di Bohemia dan Moravia.  Sebagaimana ditulis Arendt, Heydrich berjanji akan membuat negara itu “judenrein” jika dia diberikan kekuasaan atas Bohemia dan Moravia.  Eichmann bertanya kepada Heydrich bagaimana melakukannya, dan menawarkan untuk mendirikan sebuah negara otonom.  Heydrich menerima, dan memerintahkan pengosongan orang Ceko dari daerah Theresienstaadt.  Kaum Yahudi Bohemia dan Moravia dipindahkan ke daerah yang dikosongkan itu.  Masih ada fakta-fakta menarik lainnya.  Mark Weber, dalam artikelnya Zionism and the Third Reich, menunjukkan bahwa di tahun 1942, seorang pengamat melaporkan bahwa ada sebuah kibbutz di Jerman yang berjalan atas izin resmi, yang melatih orang-orang Yahudi yang hendak pindah ke Palestina.  Weber juga menyatakan bahwa kibbutz ini mungkin aktif di tahun-tahun berikutnya.  Dengan kata lain, kebijakan pemindahan, yang menjadi dasar persekongkolan Nazi-Zionis sebelum perang, berlanjut, sejauh dimungkinkan, selama perang.

Dengan kata lain, persekongkolan antara Zionis dan Nazi berlanjut di saat mana jutaan kaum Yahudi tak bersalah hidup di bawah kekejaman dan penyiksaan serta jutaan orang dibunuh tanpa belas kasihan di kamp-kamp konsentrasi. 

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.(Qur’an, 4:125)

COMMENTS

BLOGGER
Nama

aagym,19,Aagym Audio,8,Abdur Raheem Green,2,Akhir Zaman,17,Akhir Zaman Ebook,32,Akhlaqul Karimah,16,Al Masih,7,apk bahasa,1,apk doa,2,apk Quran,3,apk salat,2,apk umum islam,1,Aplikasi Islami,26,aplikasi total android,9,Audio,14,Audio Tajwid,2,Bang Imad,4,Bani Jawi dan Melayu,3,BELA DIRI,1,Belajar Bahasa Arab,2,Berita dan Kasus,25,Berita Islami,18,Bola,3,Buku Imran Hosein,2,Catatan Sang Pujangga Sesi 1,4,Dajjal,10,Doa dan Ruqyah Audio,1,Download Ebook Islami,25,Download Ebook Kristologi,19,Download Ebook Umum,4,Ebook Detektif,1,Ebook Doa,5,Ebook Fiqih,20,Ebook Hadits,18,Ebook Hubungan,7,Ebook Keluarga,4,Ebook Quran,20,Ebook Sejarah,22,Ebook Tajwid,3,Ekonomi Islam,24,Freemasonry,21,Gaib dan Non Dunia,43,Gaib dan Non Dunia Video,6,Gog and Magog,1,Hassan Al Banna,1,Hj. Irene Handono,1,Ibadah Sehari-hari,1,Ideologi,2,Imran Hosein,15,islam,1,Islam dan Hindu,2,Keajaiban Islam,15,Keluarga Bahagia,3,Keluarga Ibrahim,10,Kisah-Kisah Motivasi,9,Komunis,3,Konspirasi Amerika,17,konspirasi zionis,60,Kristologi,53,KUNGFU,1,Liberalis,1,Lintas Agama,24,Love Islam,39,Love Kesehatan,6,Love Menulis,5,Love Musik,1,Love ng-BLog,3,Love Nonton Bareng,10,Maria Magdalena,1,Masalah Syi'ah,2,Masuk Islam,17,Minerva,4,Nubuat Muhammad,3,Office,1,Pancasila,1,Pengendalian Pikiran,12,Permasalahan Islami,17,Pernikahan,1,Politik,29,Protokol Zionisme,11,Puasa,3,Realita Akhir Zaman,35,Romansa dan Cinta,14,Science and Signs,1,Sejarah dan Biografi Islam,55,Setanisme,1,Sihir,13,Software Belajar Bahasa Inggris,3,Software dan Aplikasi,10,Sofware dan Download,9,Sundaland dan Atlantis,6,Takbiran Audio,3,The Truth Of Islam,29,Tilawah Quran,1,Video Akhir Zaman,14,Video Dokumenter,7,Video Imran Hosein,12,Video Masuk Islam,10,video sosial eksperimen,5,Video Zakir Naik,11,Wakeup Project,8,Yesus dan Isa,1,Yusuf Estes,3,Zakir Naik,14,
ltr
item
love is rasa: Nazis & Zionis - Catatan Hitam Politik Dunia
Nazis & Zionis - Catatan Hitam Politik Dunia
konspirasi zionis, Sejarah dan Biografi Islam, Nazis & Zionis - Catatan Hitam Politik Dunia
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-iWM5WLNZZjRHn4EBFTI81-CwskdMHIM14TK2MXv-CLgsD7Vm2bCypsjarM2yGIaV4UaibMgd9VVEc4x-Zg7Udt66b0E1nwvUEEH0lCyiLT7ykP9NY9x_vmR8tq-RFR6Rkyd9VRXDEj4g/s1600/ccc.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-iWM5WLNZZjRHn4EBFTI81-CwskdMHIM14TK2MXv-CLgsD7Vm2bCypsjarM2yGIaV4UaibMgd9VVEc4x-Zg7Udt66b0E1nwvUEEH0lCyiLT7ykP9NY9x_vmR8tq-RFR6Rkyd9VRXDEj4g/s72-c/ccc.jpg
love is rasa
https://love-is-rasa.blogspot.com/2015/03/nazis-zionis-catatan-hitam-politik-dunia.html
https://love-is-rasa.blogspot.com/
https://love-is-rasa.blogspot.com/
https://love-is-rasa.blogspot.com/2015/03/nazis-zionis-catatan-hitam-politik-dunia.html
true
2777010531160768459
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content